Guru Besar Media UNAIR Tanggapi Isu Viral Objektifikasi Mahasiswi Baru di Instagram

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Beberapa hari yang lalu, media sosial mahasiswa UNAIR diramaikan dengan kontroversi yang dituai oleh akun Instagram bernama @unair.story. Hujan kritik ditujukan pada akun tersebut dikarenakan ia me-repost foto twibbon mahasiswa baru UNAIR dengan caption yang mengarah pada objektifikasi dan pelecehan perempuan.

Problema ini menjadi ramai ketika BEM FISIP UNAIR dan Cakrawala Sanubari (sarana advokasi kekerasan seksual mahasiswa UNAIR di bawah naungan Kementrian Pergerakan dan Kesetaraan Gender BEM FISIP UNAIR, membahas dan mengecam postingan @unair.story di akun Instagram mereka. Dari kejadian tersebut, korban mengaku sangat takut karena di awal penggalan kisah perkuliahannya diwarnai dengan komentar tidak senonoh terkait fotonya dan menerima pesan dari beberapa orang yang tidak dikenalnya. Hingga saat ini, postingan tersebut belum dihapus oleh pihak terkait.

Merefleksikan dari kasus tersebut, tim redaksi mewawancarai Guru Besar Ilmu Komunikasi, Prof. Rachmah Ida, Ph.D., pada Rabu (13/5/2020). Ia menanggapi bahwa kejadian itu menunjukkan betapa rentannya perempuan menjadi korban objektifikasi dalam media sosial.

“Dalam media studies, kita mengenal teori yang namanya male gaze. Teori itu menyatakan bahwa dalam media, muncul stereotype terhadap perempuan, dimana perempuan ditampilkan berdasarkan perspektif maskulin untuk direpresentasikan sebagai objek seksual laki-laki. Kejadian ini seringakli dijumpai saat melihat iklan suatu produk. Iklan motor atau tempat tidur harus didampingi oleh perempuan dengan gestur sensual,” tutur pakar dalam bidang Media Studies itu.

Mengaplikasikan teori tersebut dalam media sosial, Prof. Rachmah menjelaskan bahwa fisik korban seakan-akan ditampilkan menjadi sebuah komoditas dan keunggulan dari UNAIR. Dalam hal ini korban juga mendapatkan komentar yang mengarah pada Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO). Ia menambahkan bahwa hal seperti ini tentu tidak dapat ditolerir, mengingat bahwa fakta bahwa sosok perempuan di ranah publik itu sangat rentan untuk menjadi korban sexual harassment dan korban dapat menjadi sangat traumatized.

“Sekalipun media sosial memiliki fitur untuk ‘memilih’ audiens yang dapat melihat konten yang diunggah, pengguna Instagram tidak dapat menghindari reaksi-reaksi yang tidak diinginkan dari publik luas, perlakuan yang didapatkan oleh si korban tetap tidak dapat dibenarkan. Sexual predation tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun,” ujar Alumni Curtin University of Technology itu.

Terakhir, Prof. Rachmah ida menjelaskan bahwa disini peran feminisme harus digaungkan, untuk meningkatkan awareness dalam bentuk sexual harassment. Ia juga mengungkapkan bahwa jalur hukum juga harus ditempuh untuk merepresi kejadian tesebut agar hak-hak korban terlindungi dengan baik.

“Seringkali terdapat misunderstanding bahwa feminisme menginginkan supremasi wanita, padahal itu sangatlah salah. Feminisme itu hanya ingin kesetaraan dalam perlindungan hak-hak perempuan. Saya sebagai feminis tentu miris melihat kejadian seperti ini terjadi dan berharap bahwa pelaku harus dihukum atas pelecehan yang dia lakukan di ranah digital,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).