Surveilans Campak Berbasis Individu Solusi Pengendalian Campak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh IDNTimes

Sejaktahun 2011 seluruh provinsi di Indonesia telah melaksanakan kegiatan surveilans campak dengan pendekatan kasus individu atau Case Based Measles (CBMS).  Sumber data kegiatan surveilans campak yang dilakukan ditingkat kabupaten/ kota bersumber dari puskesmas dan Rumah Sakit (RS) yang ada di wilayah kabupaten/kota. Tujuan kegiatan surveilans campak ditekankan berbasis kasus individu atau CBMS sendiri adalah untuk mengetahui daerah endemis campak, populasi berisiko tinggi terkena campak dan memantau perkembangan dari program pemberantasan kasus campak dengan penegakan diagnosis kasus melalui pemeriksaan laboratorium IgM minimal 50% dari kasus klinis yang ditemukan.

Dengan demikian, salah satu faktor penting dalam penemuan kasus campak adalah kegiatan surveilans yang menghasilkan data dan informasi yang berkualitas. Sebuah evaluasi  sistem surveilans secara periodik atau penilaian mengenai pelaksanaan surveilans campak akan meghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas, efisiensi dan kemanfaatan. Data yang akurat, intervensi yang tepat, maka Indonesia akan mencapai eliminasi campak pada tahun 2020 yang tertuang dalam Global Vaccine Action Plan (GVAP) oleh World Health Organization (WHO) sebagai salah satu dari 5 regional negara yang ditargetkan untuk mencapai eliminasi campak dan pengendalian rubella/ Congenital Rubella Syndrome (CRS).

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspect campak dan dari hasil konfirmasi laboratorium, 12 – 39% diantaranya adalah campak pasti (lab confirmed). Dari tahun 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak. Jumlah kasus ini diperkirakan masih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus yang tidak dilaporkan, terutama dari pelayanan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah.

Dilaporkan hanya 59% petugas yang telah melakukan pengambilan spesimen darah pada pasien untuk konfirmasi kepastian penyakit campak, sedangkan 41% tidak melakukan karena kesulitan pengambilan sampel pada bayi atau balita. Tidak adanya umpan balik dari Dinas Kesehatan terkait hasil laboratorium juga menimbulkan permasalahan kegiatan surveilans di lapangan. Unsur validitas data, berdasarkan hasil observasi pada laporan rutin C1 di puskesmas di Kota Surabaya hanya 28,2%. Pengambilan keputusan dalam intervensi kasus dipengaruhi oleh kualitas data surveilans. Dapat disimpulkan bahwa kevalidan data pada laporan rutin campak tidak valid sehingga kualitas data yang dihasilkan adalah rendah.

Ketersediaan kualitas data yang rendah akan mempengaruhi pengambilan keputusan untuk melakukan intervensi kasus campak di Indonesia. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara-negara dengan kasus campak terbanyak di dunia dengan kasus kematian akibat campak pada tahun 2014 adalah 115.000 per tahun, dengan perkiraan 314 anak per hari atau 13 kematian setiap jamnya.

Hasil pelaksanaan surveilans campak dapat menjadi penentuan intervensi terutama bagi pelaksanaan imunisasi. Membangun komunikasi antar petugas surveilans dinas kesehatan dan rumah sakit baik umum maupun swasta dalam pelaporan kasus campak yang ditangani RS. Disamping itu juga menjadi sumber informasi mengenai status kesehatan masyarakat bagi pihak kelurahan atau kecamatan sebagai pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan bagi masyarakat di lingkungannya, mengingat campak adalah penyakit yang sangat menular dan dapat menyebabkan kematian terutama pada bayi dan balita.

Penulis: Santi Martini, Eva Flourentina Kusumawardani
Judul artikel :Evaluation of measles surveillance system in provincial health office, East Java, Indonesia

Link artikel : https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2020010214592508_MJMHS_0088.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).