Intervensi Koroner pada Serangan Jantung Terkait Kelainan Darah Polisitemia Vera

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Klikpositif

Serangan jantung dapat terjadi tanpa disertai adanya faktor risiko konvensional seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia ataupun merokok. Salah satu faktor risiko non-konvensional terjadinya serangan jantung adalah kelainan darah, yang dapat berupa polisitemia vera (peningkatan sel darah merah) ataupun trombositosis esensial (peningkatan keping darah). Intervensi koroner perkutan primer (primary PCI) merupakan tata laksana utama serangan jantung di mana tindakan ini dapat menurunkan angka kematian secara signifikan, Meskipun telah rutin digunakan sebagai terapi serangan jantung, namun belum ada konsensus mengenai teknik prosedur tindakan dan terapi medikamentosa pada kasus serangan jantung pada kelainan darah. Berikut kami laporkan sebuah kasus serangan jantung pada kelainan darah  yang sukses menjalani prosedur primary PCI setelah mengalami berbagai komplikasi.

Laporan kasus diilustrasikan sebagai berikut: seorang wanita berusia 46 tahun, datang ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada tipikal, disertai keringat dingin. Tidak didapatkan faktor risiko penyakit jantung koroner seperti hipertensi, diabetes mellitus dan dislipidemia. Pasien juga tidak merokok. Pasien memiliki riwayat trombosis vena dalam pada kaki sebelah kiri. Pemeriksaan klinis menunjukkan pasien mengalami gagal jantung akut dan syok kardiogenik. EKG pasien didapatkan STEMI inferior dan right ventricle (RV). Hasil darah lengkap menunjukkan peningkatan hemoglobin, sel darah merah, trombosit dan sel darah putih, dengan didapatkan mutase JAK2. Dari data tersebut pasien di assess sebagai STEMI Inferior-RV Killip IV dan Polisitemia Vera. 

Selanjutnya dilakukan tindakan primary PCI, pada angiografi koroner diagnostik didapatkan oklusi total pada arteri koroner kiri (left anterior descending coronary artery/LAD), dan juga oklusi total pada arteri koroner kanan (right coronary artery/RCA). Left circumflex coronary artery (LCX) dalam batas normal. PCI dilakukan pertama pada RCA, dimana dilakukan aspirasi trombus dan dilakukan direct stenting (pemasangan ring jantung tanpa didahului pengembangan balon) didapatkan hasil yang optimum. Pada LAD, pertama dilakukan dilatasi balon, aspirasi trombus lalu pemasangan stent / ring jantung. Namun hasil aliran tidak optimal dan pada saat tindakan didapatkan komplikasi no-reflow phenomenon yang berakibat hipotensi dan henti jantung. Berbagai tindakan resusitasi dilakukan dan dilakukan berbagai usaha intervensi dengan aspirasi trombus dan fibrinolitik intrakoroner. Kondisi pasien akhirnya membaik dan dapat keluar rumah sakit setelah perawatan hari ke-7 tanpa terjadi kejadian serangan jantung ulang.

Ada beberapa hal yang menarik untuk disimak dari kasus di atas. Yang pertama tentunya adanya serangan jantung yang berkaitan dengan kelainan darah. Hal ini merupakan sesuatu yang menarik karena biasanya serangan jantung berkaitan dengan adanya faktor risiko seperti merokok, hipertensi, diabetes melitus dan dyslipidemia. Pada keadaan kelainan darah polisitemia vera ternyata terdapat beberapa keadaan yang dapat memicu terjadinya bekuan darah (trombus) sehingga menimbulkan serangan jantung, antara lain perubahan kualitas dan kuantitas dari sel darah merah sehingga memicu aktivasi sistem pembekuan darah yang akan menjadi trombus. Selanjutnya adalah gambaran angiografi yang menunjukkan adanya sumbatan total pada dua arteri koroner mayor secara bersamaan. Keadaan large thrombus burden terkait polisitemia vera kemungkinan mendasarinya. Hal ini juga menimbulkan konsekuensi hemodinamik yang fatal, meningkatkan kejadian trombus dan berkorelasi dengan tingginya mortalitas. 

Teknik yang dipilih dalam penanganan intervensi koroner perkutan juga merupakan hal yang menarik. Dari laporan kasus ini terdapat 2 arteri koroner mayor yang tersumbat, dan dilakukan intervensi dengan metode yang berbeda. RCA ditangani dengan direct stenting dan membuahkan hasil yang optimal. Sedangkan LAD menggunakan dilatasi balon terlebih dahulu sehinnga menimbulkan embolisasi distal yang berkomplikasi menjadi no-reflow phenomenon. Teknik lain yang menjadi penting pada kasus ini adalah aspirasi trombus dan fibrinolisis intrakoroner, di mana teknik-teknik tersebut tidak rutin digunakan, namun bermanfaat dalam kasus ini karena dapat mengurangi beban trombus yang besar.

Kesimpulan dari laporan kasus ini adalah pentingnya pemahaman terhadap patofisiologi terjadinya trombus pada kondisi polisitemia vera dalam melakukan tata laksana definitif.  Adanya beban trombus yang besar (large thrombus burden) pada kasus ini membuat pemilihan teknik primary PCI menjadi cukup kompleks. Modalitas aspirasi trombus dan direct stenting diusulkan menjadi teknik pilihan pertama pada primary PCI pada pasien dengan PV, (Alih-alih menggunakan dilatasi balon secara konvensional). Intervensionis harus mewaspadai risiko no-reflow phenomenon dan dapat mempertimbangkan trombektomi intrakoroner dan trombolisis untuk mengatasi komplikasi ini.

Penulis: Yudi Her Oktaviono; Suryo Ardi Hutomo; Makhyan Jibril Al-Farabi

Informasi detail dari laporan kasus ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://journals.lww.com/md-journal/fulltext/2020/02280/no_reflow_phenomenon_during_percutaneous_coronary.40.aspxOktaviono YH, Hutomo SA, Al-Farabi MJ. No-reflow phenomenon during percutaneous coronary intervention in a patient with polycythemia vera: A case report. Med (United States). 2020;99(9):1–7. 

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).