Spekulasi Kondisi Kesehatan Kim Jong-Un dan Suksesi Pemerintahan Korea Utara

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: merdeka.com

Di tengah pandemik COVID-19, mendadak terdengar kabar bahwa pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong-Un tengah berada dalam kondisi kesehatan serius pasca operasi jantung. Namun, seperti halnya berita lain mengenai Korut, berita terkini mengenai kondisi kesehatan sang Chairman belum dapat dikonfirmasi, baik oleh Amerika Serikat, maupun sekutu terdekat Korut, China (NKNewsorg, 2020).

NKNews—salah satu kantor berita independen dan terpercaya mengenai Korea Utara—kemudian melansir bahwa kehidupan di Pyongyang berjalan seperti biasa dan KCNA (kantor berita resmi Korea Utara) memilih untuk fokus pada pemberitaan mengenai hari berdirinya KPA (Korean People’s Army) pada 25 April. Pemerintah Korea Selatan (Korsel) juga mengonfirmasi bahwa mereka tidak menerima konfirmasi apapun mengenai kondisi kesehatan Kim Jong-un atau mendeteksi adanya kejanggalan di Korut.

Rumor mengenai kondisi kesehatan Kim Jong-Un yang memburuk berawal dari berita DailyNK (surat kabar daring berbasis di Korea Selatan) dan kemudian diulas kembali oleh media-media Barat. Berdasarkan reportase DailyNK pada tanggal 20 April lalu, Kim Jong-Un disebut telah menjalani prosedur kardiovaskular di Hyangsan Medical Center untuk kondisi jantungnya yang memburuk akibat kebiasaan merokok, obesitas, dan overworking.

Spekulasi mengenai kondisi kesehatan Chairman Kim sebenarnya mulai berhembus pada 15 April ketika ia tidak menghadiri perayaan  ‘Day  of the Sun’ yang  merupakan  hari  ulang tahun kakeknya,  Kim  Il-Sung,  dan merupakan hari libur terpenting di Korut. Tahun ini adalah pertama kalinya Kim Jong-Un tidak menghadiri perayaan tersebut sejak ia resmi ditunjuk sebagai pengganti ayahnya, Kim Jong-Il pada 2011.

Pada 26 April, muncul spekulasi tambahan bahwa Chairman Kim telah tiada. Korea Herald (salah satu  kantor  berita  resmi  Korsel)  melansir  bahwa  rumor  tersebut  berasal  dari  Hongkong ‘berdasarkan sumber terpercaya.’ Sebelumnya telah diberitakan bahwa dokter-dokter senior dari Tiongkok telah diterbangkan ke Pyongyang untuk memantau kesehatan Kim Jong-Un.

Selain Hongkong, media Jepang, Shuukan Gendai, juga memberitakan bahwa pemimpin tertinggi Korea Utara ini berada dalam keadaan vegetative dan tidak diharapkan untuk pulih. Namun, di tengah rumor tersebut, 38North (situs berita mengenai Korea Utara yang berbasis di Amerika Serikat) menangkap foto kereta khusus milik Kim Jong-Un sedang berada di Wonsan sejak 21 April dan memperkuat berita bahwa sang chairman sedang berada di Wonsan yang merupakan resor pribadi milik keluarga Kim.

Terlepas dari spekulasi mengenai kondisi kesehatan dan kematian Kim Jong-Un, apakah yang terjadi pada Korea Utara jika ia tiada?

Suksesi Pemerintahan Korea Utara

Korea Utara memiliki sistem suksesi unik untuk posisi pemimpin tertinggi mereka. Kim Il-Sung menginisiasi hereditary line saat ia menunjuk putranya, Kim Jong-Il sebagai penerus ‘tahta’ pada tahun 1970. Kim Jong-Il kemudian meneruskan tradisi tersebut dengan menunjuk Kim Jong-Un

sebagai penerusnya pada tahun 2011. Proses konsolidasi kekuatan dan myth-building bagi Kim Jong-Un sendiri tidak memakan waktu lama, tidak seperti ayahnya yang memiliki waktu 30 tahun untuk ‘bersiap’ melanjutkan kekuasaan kakeknya. Oleh karena itu, Kim Jong-Un memilih cara- cara ‘radikal’ untuk menunjukkan kelayakannya sebagai pemimpin tertinggi Korut, seperti dengan menenggelamkan kapal selam Angkatan Laut Korsel, melakukan uji misil berkali-kali, dan menyelesaikan program senjata nuklir Korut. Oleh karena itu, siapapun pengganti Kim Jong-Un haruslah dapat meyakinkan rakyat dan pejabat Korut bahwa ia layak untuk menggantikan Kim dan harus dapat melakukannya dalam waktu yang teramat singkat karena Kim Jong-Un belum menunjuk dan mempersiapkan penerus tersebut.

Mungkinkah sistem Korut akan kolaps jika Kim Jong-Un tiada, baik oleh revolusi rakyat maupun elit? Mungkin tidak. Sistem Korut telah bertahan selama lebih dari 70 tahun meski banyak ahli memprediksi bahwa sistem tersebut akan kolaps tidak lama setelah Perang Korea berakhir, atau ketika Kim Il-Sung dan Kim Jong-Il tiada, atau ketika mereka dilanda bencana berkepanjangan pada awal 90-an. Sistem sosialis-komunis Soviet maupun China pun tidak begitu saja runtuh ketika pemimpin tertinggi mereka seperti Stalin dan Mao meninggal. Yang mungkin terjadi adalah shock dan kebingungan para elit Korut karena mereka tidak menginstitusionalisasi sistem ‘pengganti sementara’ jika pemimpin tertinggi mereka mendadak tiada.

Di negara-negara demokratis, misalnya, jika Presiden mendadak tidak bisa menjalankan tugasnya, maka Wakil Presiden-lah yang akan menjalankan tugasnya. Dalam kondisi semacam ini, Chae Ryeong-Hae, salah satu pejabat tertinggi di partai dan Politburo, merupakan salah satu kandidat yang mungkin akan menggantikan Kim sementara. Posisi Chae saat ini adalah Director of the Organization and Guidance Department (OGD) yang biasanya dipegang oleh anggota keluarga Kim. Ia juga disebut sebagai mertua Kim Yo-Jong, adik Kim Jong-Un. Jika ia ‘terpilih’ oleh partai untuk menggantikan Kim Jong-Un, maka pilihan untuknya adalah bertahan sebagai pemimpin tertinggi Korut, atau menyerahkan tampuk kepemimpinan tertinggi pada anggota keluarga Kim seperti tradisi Korut.

Jika meneruskan tradisi tersebut, maka Kim Yo-Jong adalah kandidat terkuat untuk menggantikan kakaknya, karena putra/putri Kim Jong-Un masih terlalu kecil. Selain itu, Kim Yo-Jong telah memainkan peran sebagai salah satu figur penting dalam pemerintahan kakaknya sebagai kepala departemen propaganda di partai komunis Korut. Ia juga selalu terlihat berada di samping kakaknya dalam pertemuan-pertemuan penting, termasuk pertemuan dengan berbagai kepala negara. Selain itu, Kim Yo-Jong lah yang menggantikan kakaknya ketika kakaknya sakit pada tahun 2014. Namun masih ada keraguan apakah ia akan dapat meyakinkan elit politik Korut untuk memimpin negara yang tidak memiliki pemimpin wanita sebelumnya dan dimana posisi penting pemerintahan didominasi oleh pria. Oleh karena itu, jika Kim Yo-Jong menggantikan kakaknya, ia akan memiliki waktu yang sangat singkat untuk mendapatkan legitimasi elit politik dan rakyat. Untuk mendapatkannya dalam waktu singkat, ia mungkin harus merumuskan kebijakan-kebijakan yang lebih ‘keras’ dibandingkan kakaknya. (*)

Penulis: Annisa Pratamasari

Artikel lengkap dapat diakses melalui laman berikut ini https://www.northkoreanreview.net/articles

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).