Kasus Kandidiasis Oral Resisten Flukonasol pada Pasien HIV/AIDS

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh alodokter

Indonesia merupakan negara dengan kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi. Pasien HIV/AIDS dengan kandidiasis oral memiliki risiko yang tinggi mengalami resistensi terhadap terapi yang diberikan. Kandidiasis oral merupakan suatu gambaran klinis pada 50-95% pasien dengan HIV/AIDS. Manajemen tahap awal dari kandidiasis oral pada pasien HIV/AIDS adalah dengan flukonasol dengan dosis 100 mg/hari selama 7-14 hari. Nistatin dapat digunakan sebagai alternatif bila flukonasol tidak memberikan perbaikan klinis. 

Pasien pria berusia 34 tahun dari Indonesia (suku Jawa) datang dengan keluhan rasa tidak nyaman dan nyeri pada lidah sejak 2 hari sebelum datang berobat pada tanggal 15 Marert 2019. Pasien rawat inap di RSUD Dr. Soetomo Suranaya, Indonesia selama 14 hari (2 minggu). Pasien juga merasakan keluhan susah makan dikarenakan oleh rasa nyeri yang dirasakannya. Pasien tersebut merasakan demam sejak 2 hari sebelum datang ke RS. Pasien belum pernah memeriksakan diri atau mendapatkan terapi untuk keluhannya saat ini. Pasien didiagosis HIV stadium IV dan mendapatkan terapi ARV selama 2 tahun ini. Pasien merasakan nyeri pada geniatalia saat berkemih. Nutrisi yang dikonsumsi sedikit (< 2000 kkal/hari). Sebelum ARV hitung CD 4 <200.

Pemeriksaan fisik dari rongga mulut menunjukkan pseudommbran putih pada lidah dan palatum (Gambar 1). Pseudomembran dapat dihilangkan, tetapi meninggalkan bercak kemerahan dan nyeri. Pemeriksaan KOH positif (Gambar 2). Berdasarkan dengan gejala dan tanda yang dialami, pasien didiagnosis dengan kandidiasis oral dan HIV/AIDS stadium IV. Pasien memiliki kecurigaan diagnosis infeksi saluran kencing dan kami telah berkoorinasi dengan divisi IMS dan tidak perlu diberikan terapi. Terapi: flukonasol 150 mg/hari, duviral 1 tablet/hari (zidovudine 300 mg dan lamivudine 150 mg), multivitamin B kompleks dan zat besi 1 tablet/hari, konseling, edukasi terkait higien oral, dan kolaborasi pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein. 

Satu minggu setelahnya, pasien tidak merasakan perbaikan dengan terapi flukonasol sehingga dilakukan pemeriksaan apusan rongga mulut. Kultur dilakukan pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) pada suhu 37 C selama 48 jam. Pemeriksaan agar SDA dilanjutkan dengan kultur menggunakan CHROMagar. Candida albicans dan Candida glabrata berhasil diidentifikasi. Uji resistensi menggunakan metode disk difusi yang mengandung flukonasol, ketokonasil, dan nistatin. Interpretasi diameter zona hambat berdasarkan CLSI. Hasil menunjukkan resisten terhadap flukonasol, intermediet terhadap ketokonasil, dan sensitif terhadap nistatin. Setelah hasil kultur didapatkan, obat flukonasol diganti dengan nsitatin. 

Pada tanggal 29 Maret 2019, pasien rawat jalan dan diedukasi untuk menjaga higienitas oral, dan diberikan suspensi nistatin yang dikonsumsi 3 kali sehari sebanyak 5 ml (500.000) selama 14 hari. Satu minggu setelahnya, pasien kontrol kembali ke rumah sakit dan terapi dilanjutkan hingga 7 hari. Pada hari ke-6 terapi nistatin, pseudomembran mulai menipis (Gambar 4a). Pada hari ke-10 terapi nistatin, pseudomembran menghilang (Gambar 4b). Pada hari ke-14, tidak ada tanda-tanda komlikasi atau kekambuhan yang diamati. 

Pada berbagari literatur, sekitar 50-90% pasien HIV/AIDS mengalami kandidiasis oral. Tipe kandidiasis oral tersering pada pasien HIV/AIDS adalah tipe eritematosa kronik. Kandidiasis pseudomembranosa akut merupakan tipe kandidiasis oral yang paling sering. Tipe lainnya yang dapat ditemukan adalah kandidiasis pseudomembranosa akut, kandidiasis eritematosa akut, dan kandidiasis pseudomembranosa kronik juga dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS. 

Kandidiasis pada pasien HIV/AIDS seringkali disertai dengan kandidiasis esophageal. Pada kasus ini, pasien mengalami kesulitan menelan. Hal tersebut perlu dicurigai kemungkinan kandidiasis esofagel, dimana beberapa literatur menunjukkan kleuhan berupa nyeri telan, kesulitan menelan, dan nyeri dada. Kandidiasis esophageal menimbulkan efek yang fatal, sehingga penting untuk memberikan terapi agresif pada kandidiasis oral pada pasien HIV.

Pasien HIV/AIDS mengalami supresi sistem imun. Kondisi ini menyebabkan pasien rentan terjadi infeksi oportunistik, termasuk infeksi jamur. Oleh karena itu seringkali digunakan terapi antijamur yang tidak rasional, sehingga memicu terjadinya resistensi sekunder antijamur. Resistensi satu tipe obat golongan azole dapat menyebabkan cross-resisten terhadap golongan azole lainnya. Beberapa spesies spesies Candida non-albicans mengalami resistensi intrinsik terhadap golongan azole, seperti Candida krusei dan Candida glabrata. Uji resistensi antijamur bertujuan memastikan jumlah minimal obat yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan jamur (minimum inhibitory concentration/MIC). 

Peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS menyebabkan meningkatnya kandidiasis oral. Candida albicans merupakan patogen tersering pada populasi HIV yang mengalami kandidiasis oral. Kandidiasis oral pada pasien HIV seringkali disertai dengan kandidiasis esofageal, sehingga pengobatan pada pasien HIV sebaiknya diberikan dengan lebih agresif. Pemberian terapi nistatin suspensi 3 kali sehari, 5 ml (500.000 unit) efektif untuk kandidiasis oral. Edukasi untuk menjaga kesehatan rongga mulut penting untuk menurunkan risiko kandidiasis oral. Observasi pasien selama dan setelah terapi penting untuk mendeteksi hepatitis akibat pengobatan anti jamur yang diberikan  dan kekambuhan kandidiasis oral pada pasien. 

Penulis: dr.Dwi Murtiastutik,Sp.KK(K)

Informasi detail dari artikel ini dapat dilihat pada tulisan kami di: 
Fluconazole Resistant Oral Candidiasis on HIV Patient – What Other Drug can We Choose? A Case Report

Fluconazole Resistant Oral Candidiasis on HIV Patient – What Other Drug can We Choose? A Case Report 

Dwi Murtiastutik, Cita Rosita Sigit Prakoeswa and Indah Setiawati Tantular

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).