Hitam Putih COVID-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Covid-19.go.id

Corona Virus Disease-19 (COVID-19) sedang menjadi perhatian serius di seluruh penjuru dunia. Bagaimana tidak, terhitung semenjak pertama kali virus ini muncul sekitar dipengujung tahun lalu (November, 2019) di China, kini COVID-19 telah menyebar ke hampir seluruh muka bumi, tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, indikasi paling kuat pertama kali munculnya kasus COVID-19 terjadi pada 14 Februari 2020 silam di Jakarta, sebagaimana dilansir sebagian besar media mainstream di Indonesia. Hingga saat ini pun, Pemerintah Indonesia sedang menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam aktivitas sosial-masyarakat sebagai upaya preventif guna mereduksi kemungkinan berjatuhannya korban akibat virus corona.

Sebagai seorang mahasiswa, yang identik dengan gagasan dan pemikiran intelektualnya sebagai kelompok akademisi muda, tentu sudah menjadi keseharusan untuk  secara aktif dan partisipatif melibatkan diri dalam fenomena ini dengan turut memberikan sumbangsih kontribusi pemikiran melalui tulisan maupun dalam bentuk beragam kegiatan sosial. Untuk itu, disini saya bermaksud untuk sedikit banyak mengulas mengenai COVID-19 dalam perspektif humaniora (dari berbagai sudut pandang kelompok masyarakat) sebagai bentuk respon atas terjadinya fenomena COVID-19.

Dari sudut pandang kelompok aktivis lingkungan (enviromentalis) meyakini fenomena COVID-19 sebagai mekanisme alamiah dari bumi untuk memulihkan ekosistem yang kian hari kian rapuh. Bagaimanapun, munculnya pandemi virus corona telah setidaknya membuat proses perusakan alam sebagai akibat dari aktivitas keseharian manusia tereduksi secara signifikan untuk sesaat.  Disisi lain, kelompok spiritualis melihat pandemi global virus corona sebagai teguran alam akan kejumawaan golongan agamis. Bagaimanapun, pandemi virus corona menyebabkan aktivitas ritual dan festival keagamaan yang begitu antusias dihadiri ratusan bahkan ribuan manusia harus dibatalkan demi menghentikan penularan virus yang dapat dikatakan begitu massif. Manusia dipaksa mengucilkan diri, menjaga jarak sosial, dan menempuh jalan kesunyian setiap harinya dengan menjalankan seluruh aktivitasnya di rumah.

Kelompok koservatif, menganggap terjadinya COVID-19 merupakan bagian dari konspirasi para elit global. Bukan tidak mungkin virus ini diciptakan sebagai senjata biologis untuk melumpuhkan seisi dunia. Tak pelak lagi, negara-negara pembuat vaksin anti virus dituduh sebagai biang keladinya guna mengklaim sebagai negara yang memiliki keahlian mutakhir dalam bidang farmasi. Sementara itu, bagi kebanyakan orang yang terancam bangkrut, kehilangan pekerjaan, bahkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dibuat was-was dan terus menunggu kapan pandemi virus corona akan berakhir. Jangankan bagi mereka yang telah dinyatakan positif mengidap virus corona, atau bagi mereka yang terdampak secara langsung atas pandemi virus corona ini (tenaga medis), bahkan yang masih benar-benar sehat dan tidak terlalu beresiko untuk terkena virus pun dibuat paranoid dan stress akibat segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Sisanya, dari mahasiswa maupun pelajar, terlebih yag sedang berada di perantauan, fenomena COVID-19 antara menjadi berkah dan masalah besar. Menjadi berkah karena setidaknya memiliki cukup waktu untuk rehat sejenak dari kesibukan aktivitas akademik maupun organisasi. Namun masalahnya adalah, proses akademik berlangsung begitu sulit dan membingungkan. Optimalisasi proses belajar tentu tidak akan dapat direngkuh oleh sebagian besar mahasiswa maupun pelajar. Belum lagi mesti bersusah-payah menemukan wifi bagi yang tidak terfasilitasi wifi dirumah, guna menghemat pengeluaran kuota internet. Terlebih, bagi mahasiswa semester akhir, proses penelitian lapangan terhenti, dan tidak jelas sampai kapan penundaan harus dilakukan.

Tapi, terlepas dari apapun itu, pandemi global ini banyak mengajarkan kita tentang kesetaraan dan kesatuan sebagai manusia, dengan sepenuhnya menyadari sebenarnya bahwa kita begitu rentan dihadapan alam. Tidak ada tempat untuk perdebatan perbedaan politik, perbedaan keyakinan beragama, perbedaan rasial dan etnik. Seluruh umat manusia harus bekerja sama, saling bertumpu satu sama lain, untuk bersama-sama mengatasi atau setidaknya tidak memperburuk keadaan karena penyakit hadir tanpa sedikitpun melihat latar belakang manusia. Manusia tidak lagi bersikap terlalu individualis maupun terlalu koletivis, karena mementingan diri sendiri maupun terlalu sering berkumpul kini menjadi sesuatu yang berbahaya dan dapat mengakibatkan sebuah bencana. Manusia dituntut untuk berpikir secara berimbang, selaras, dan holistik (keseluruhan). Semoga setelah pandemi COVID-19, kita semua menjadi manusia baru, dengan karakter yang lebih baik, etika dan moral yang lebih terjaga, serta semangat berkolaborasi antara satu dengan yang lainnya dapat terajut dengan kuat.

Penulis: Nauval Witartono (Ketua KM PSDKU Universitas Airlangga di Banyuwangi 2020)

Berita Terkait

Nauval Witartono

Nauval Witartono

Mahasiswa Akuntansi PSDKU Universitas Airlangga di Banyuwangi Kepala Departemen Internal Himpunan Mahasiswa Akuntasi UNAIR Banyuwangi