Potensi Kombinasi Bahan Penyamak Krom dan Kulit Kayu Mangrove terhadap Kualitas Kulit Ikan Kakatua

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi ikan kakatua. (Sumber: Dictio.Id)

Ikan kakatua merupakan salah satu komoditas ekspor penting yang dihasilkan dari perairan Indonesia. Produksi filet ikan karang lainnya (termasuk ikan kakatua) menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2014 adalah 12,4 ton dan cenderung meningkat. Kulit ikan sebagai hasil samping industri fillet bisa mencapai sekitar 15% dari total keseluruhan berat tubuh ikan.

Ikan kakatua juga memiliki corak yang khas yaitu sisik yang besar dan berwarna terang sehingga memiliki daya tarik tersendiri jika digunakan sebagai bahan baku penyamak yang kemudian dapat menjadi bahan baku pembuatan tas, dompet dan produk kerajinan kulit lainnya.

Kulit ikan kakatua memiliki ketebalan yang berbeda-beda sesuai dengan bagiannya. Komposisi kulit ikan pada umumnya terdiri atas 60-70% air, 25-35% protein, 2,5-3% lemak, serta bahan minor lainnya seperti 0,3-0,5% mineral.

“Kulit ikan memiliki kandungan protein yang dibutuhkan dalam proses penyamakan yaitu kolagen,” ujar Ulifia yang merupakan salah satu tim penelitian kulit ikan kakatua.

Industri penyamakan kulit saat ini berkembang dengan sangat pesat. Bahkan Badan Pusat Statistik pada tahun 2015 melaporkan bahwa jumlah industri besar dan sedang pengolah kulit dan barang jadi kulit yaitu sebesar 738 unit. Selama ini kebanyakan penyamakan kulit hanya menggunakan krom. Krom merupakan bahan penyamak yang merupakan bahan mineral. Krom sebagai bahan penyamak mineral banyak digunakan karena karakteristik kulit yang dihasilkan lebih baik dan kegunaannya yang lebih luas.

Penyamak krom memberikan stabilitas pada temperatur yang tinggi pada proses penyamakan, sehingga suhu kerut kulit samak sebagai salah satu indikator kualitas kulit tersamak mampu mencampai libih dari 100o C. Bahan penyamak dari mineral seperti krom memiliki kekurangan yaitu menghasilkan limbah buangan yang apabila langsung masuk ke lingkungan terutama ekosistem perairan bias berbahaya.

Limbah cair yang dihasilkan bisa mencapai 30-40m3 per ton kulit dan termasuk digolongkan dalam limbah berbahaya. Krom yang masuk dalam tubuh melaui pernafasan akan mengendap dalam paru-paru dan menyebabkan batuk dan gangguan pernafasan. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak negatif dari krom adalah dengan menggunakan bahan nabati seperti ektrak tanaman.

Penyamakan nabati memiliki keunggulan dari segi stabilitas ikatan dengan dengan kulit, serta lebih ramah penggunaannya terhadap lingkungan. Bahan penyamak nabati dapat diperoleh dari ektrak tanaman yang mengandung zat penyamak seperti tanin. Tanin merupakan zat alami dalam tumbuhan yang merupakan produk dari pertahanan diri tanaman dari hama penyakit yang tergolong dalam metabolit sekunder. Tanin banyak dilaporkan dapat digunakan sebagai bahan dasar penyamak kulit.

Kulit kayu dari tanaman mangrove Rhizopora sp. merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki kandungan tanin yang tinggi. Penyamakan dengan kombinasi merupakan proses yang digunakan pada proses penyamakan yang dilakukan dengan dua tahap. Penyamakan tahap pertama biasanya menggunakan bahan mineral kemudian tahap kedua dilanjutkan dengan menggunakan bahan nabati.

“Berdasarkan dasar pemikiran diatas kami melakukan penelitian kombinasi bahan penyamak antara krom dan ekstrak kulit kayu mangrove. Dari penelilian tersebut nantinya diharapkan dapat mengurangi penggunakan krom dan meningkatkan kualitas kulit kakatua tersamak,” jelas Ulifia.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa kombinasi bahan penyamak krom dan kulit kayu mangrove Rhizopora sp. Memiliki pengaruh terhadap kualitas fisik kulit ikan kakatua tersamak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kulit ikan kakatua terbaik terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi krom 2 % dan dikombinasikan dengan ekstrak kulit kayu mangrove sebesar 6%.

Kualitas terbaik dapi perlakuan tersebut ditunjukkan dari hasil pengujian kuat tarik, kuat sobek dan kemuluran berturut-tutut sebesar 150,05 kgf/cm2, 30,55kgf/cm, dan 26,88 dari ketiga parameter ini telah memenuhi standart SNI kulit ular air tawar SNI 06-4586-1998. Mengapa kami membandingkan dengan SNI kulit ikan ular air tawar, karena selama ini kulit untuk biota perairan banyak bersumber dari ular air tawar dan sudah mempunyai standard SNI.

“Secara keseluruahan kami menyimpulkan bahwa kombinasi bahan penyamak krom dan kulit kayu mangrove dapat dilakukan untuk mengurangi limbah yang dihasilkan oleh krom. Selain itu kulit kayu mangrove rhizopora berpotensi untuk digunakan sebagai bahan penyamak nabati namun di perlukan penelitian lebih lanjut dengan menaikan konsentrasi ekstrak kulit kayu dan juga memperkecil ukuran partikel dari ekstrak untuk mempercepat penyerapan kedalam kulit,” Ujar Ulifia menutup penjelasan hasil penelitian yang didapat. (*)

Penulis : Annur Ahadi Abdillah dan Ulifiah Adi Saputri

Artikel lebih lanjut dapat diakses melalui link berikut

https://ivj.org.in/users/members/viewarticles.aspx?ArticleView=1&ArticleID=9394#

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).