Korelasi antara Kelas I, II, III Maloklusi Dental dan Skeletal pada Etnis Jawa

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi maloklusi. (Sumber: Jurnal UGM)

Tingginya prevalensi menjadikan maloklusi sebagai masalah kesehatan masyarakat dan menjadi prioritas tertinggi ketiga bagi kesehatan mulut di seluruh dunia. Di Indonesia, maloklusi digolongkan sebagai masalah kesehatan mulut yang paling umum. Maloklusi memiliki penyebab multifaktorial yang diklasifikasikan ke dalam faktor umum dan faktor lokal. Faktor umum meliputi keturunan, kelainan bawaan, lingkungan, dan trauma, sedangkan faktor lokal meliputi jumlah dan bentuk anomali gigi, kehilangan prematur, dan karies.

Maloklusi tidak hanya disebabkan oleh kondisi gigi tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi tulang. Pola normal maloklusi tulang adalah Kelas I dan ditandai dengan profil wajah lurus di mana rahang atas dan rahang bawah diselaraskan. Pola maloklusi skeletal Kelas II ditandai oleh profil wajah cembung dan mungkin disebabkan oleh mandibula yang mengalami perbaikan, penonjolan rahang atas, atau kombinasi keduanya. Selain itu, pola maloklusi skeletal Kelas III ditandai dengan profil wajah cekung, yang mungkin karena penonjolan mandibula, retraksi maksila, atau kombinasi keduanya.

Penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa bentuk lengkung rahang atas yang paling umum adalah bujur sangkar pada maloklusi Kelas I, meruncing di Kelas II dan Kelas III. Sementara itu, bentuk lengkung yang paling umum ditemukan adalah bujur sangkar di ketiga kelas maloklusi, Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, dalam bentuk lengkung mandibula di antara etnis Jawa. Sementara itu, hubungan antara karakteristik dental dan skeletal telah lama diperdebatkan di bidang ortodontii.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa kondisi gigi sangat dipengaruhi oleh skeletal wajah. Perubahan lokal pada gigi dapat memiliki efek terbatas pada perbedaan antara hubungan rahang atas dan rahang bawah. Perubahan posisi relatif dari hidung ke titik A dan B dapat mempengaruhi nilai titik A – titik Nasion – B (ANB), yang berarti bahwa nilai ANB tidak selalu sesuai dengan kondisi gigi.

Jenis hubungan molar yang ditemukan pada maloklusi skeletal Kelas III adalah Kelas I, 85% individu dengan maloklusi skeletal Kelas III memiliki hubungan molar sesuai dengan kondisi skeletnya. Overjet tidak dapat menggambarkan status kerangka dalam maloklusi Kelas I dan III, tetapi bisa menjadi prediktor yang baik untuk kondisi kerangka di maloklusi Kelas II divisi 1.

Populasi Jawa menunjukkan bahwa maloklusi skeletal Kelas II dengan perbedaan skeletal anteroposterior ditandai oleh ANB besar yang mencerminkan malrelasi antara rahang atas dan rahang bawah. Maloklusi skeletal Kelas II mengalami peningkatan ANB, sebagian besar bukan karena naiknya Sella-Nasion-A point (SNA) tetapi oleh menurunnya Sella-Nasion-B point (SNB). Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara karakteristik kerangka dan gigi pada maloklusi Kelas I, II, dan III pada pasien etnis Jawa di Rumah Sakit Gigi Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia.

Subyek penelitian diklasifikasikan menjadi tiga kelas menurut ANB: 51 sampel Kelas I dengan sudut ANB 2 ° hingga 3,5 °, 50 sampel Kelas II dengan sudut ANB 5 ° hingga 13 °, dan 31 sampel Kelas III dengan sudut ANB −1 ° hingga −10 ° terdiri dari 37 pasien pria dan 95 pasien wanita berusia antara 12 dan 30 tahun. Dalam maloklusi skeletal Kelas I, ada korelasi antara SNA dan U1-NA, SNB dan U1-NA, ANB dan L1-NB. Namun, dalam maloklusi skeletal Kelas II, ada korelasi antara Wits dan U1-NA, ANB dan U1-NA, ANB dan U1-NA.

Selain itu, dalam maloklusi skeletal Kelas III, ANB berkorelasi dengan overjet, overbite, U1-NA, dan L1-NB. Ditemukan bahwa ada juga korelasi antara SNA dan U1-NA, SNA dan U1-NA, SNB dan overjet, dan SNB dan L1-NB dalam maloklusi skeletal Kelas III dalam penelitian ini. Namun, tidak ada korelasi yang signifikan antara SNA dan Wits di ketiga kelas.

Maloklusi skeletal kelas I, ada korelasi antara SNA dan U1-NA, SNB dan U1-NA, ANB dan L1-NB. Namun, dalam maloklusi skeletal Kelas II, ada korelasi antara Wits dan U1-NA, ANB dan U1-NA, dan ANB dan U1-NA. Selain itu, dalam maloklusi skeletal Kelas III, ANB berkorelasi dengan overjet, overbite, U1-NA, dan L1-NB. Korelasi antara SNA dan U1-NA, SNA dan U1-NA, SNB dan overjet, dan SNB dan L1-NB juga ditemukan dalam maloklusi kerangka Kelas III. (*)

Penulis: I Gusti Aju Wahju Ardani

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di

http://www.jioh.org

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).