Lindungi Keberlanjutan Desa Melalui Perda Desa Wisata

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi perda desa. (Ilustrasi: Radar Bangka)

Secara spesifik pembahasan mengenai desa wisata dimulai saat pemerintah mengeluarkan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.26/UM.001/MKP/2010 tentang PNPM Mandiri Pariwisata Melalui Desa Wisata yang kemudian dirubah melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.18/HM.001/MKP/2011 tentang PNPM Mandiri Pariwisata. Proses amandemen ini bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan program ini secara teknis dengan mengembangkan ruang lingkup program yang lebih luas.

Pengembangan desa wisata semakin jelas ketika pemerintah pusat menerbitkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dampaknya adalah muncul peningkatan jumlah desa wisata secara signifikan sejak tahun 2014 secara nasional.

Pertumbuhan pada tahun 2014 mencapai 26.03% meningkat pesat dibandingkan pada tahun sebelumnya yang justru menunjukkan penurunan sebesar 1.5%. Pengelolaan desa wisata juga banyak dipegang oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah desa yang dikembangkan untuk mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya yang ada di wilayah perdesaan khususnya bidang pariwisata.

Pembangunan kepariwisataan khususnya desa wisata dapat dijadikan sarana untuk menciptakan kesadaran akan identitas nasional dan kebersamaan dalam keragaman. Pembangunan desa wisata dikembangkan dengan pendekatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang berorientasi pada pengembangan wilayah, bertumpu kepada kesejahteraan masyarakat, dan bersifat memberdayakan masyarakat yang mencakup berbagai aspek, seperti sumber daya manusia, pemasaran, destinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterkaitan lintas sektor, kerja sama antarnegara, pemberdayaan usaha kecil, serta tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam dan budaya.

Untuk menjadi desa wisata diperlukan perangkat regulasi atau norma sebagai aspek legalitas dan yuridis formal. Dengan memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat, desa wisata diharapakan dapat beraktivitas tanpa ada gangguan misalnya keberatan dari pihak-pihak lain. Selain itu, regulasi mengenai desa wisata juga akan mampu  meningkatkan kemamppuan pengelolaan desa wisata secara professional. Pengelolaan Desa Wisata secara profesional, akan mampu memberikan kontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan, pelestarian sumber daya dan kearifan lokal serta mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

Perencanaan pariwisata Pemerintah Daerah yang tertuang  dalam dokumen Rencana Induk Pengembangan Pariwisata  Provinsi Jawa Timur 2017-2032 (Ripparprov) menganggap bahwa pengembangan desa wisata mampu meningkatkan potensi dan kapasitas sumber daya lokal. Sampai tahun 2017, jumlah desa wisata di Jawa Timur yang telah terdata di Asosiasi Desa Wisata (Asidewi) sebanyak 108 desa wisata. Mayoritas desa wisata tersebut masih dikategorikan sebagai desa wisata potensi dan berkembang.

Lebih jauh dari itu beberapa kawasan yang telah meng-klaim sebagai desa wisata, sebagian areanya masih beririsan dengan pihak lain seperti perhutani dan BPSABS (Badan Pengelolaan Sumber Daya Air Bersih dan  Sanitasi). Padahal wilayah tersebut memiliki potensi wisata cukup besar. Beberapa contohnya adalah di Desa Tenggarrejo dan Desa Pakisrejo (Kab.Tulungagung), Bukit Gogoniti (Kab.Blitar), dan sebagainya.

Irisan wilayah ini pula yang banyak memunculkan konflik horizontal. Adanya potensi konflik lokal dalam pengelolaan desa wisata bisa dilihat di beberapa wilayah di Jawa Timur. Contohnya adalah di Desa Janggan Kab. Magetan (Pemerintah Desa dengan Sebagian Warga), Desa Sitiarjo Kab. Malang (Perhutani dengan Warga), Desa Karangsuko Kab. Malang (Pemerintah Desa dengan BPSABS), dan Desa Pakisrejo Kab. Tulungagung (Warga dengan Perhutani).

Penjelasan dari Biro Hukum Komisi B DPRD Jawa Timur dalam Urusan Pariwisata menyatakan bahwa draf rancangan peraturan daerah tentang desa wisata telah dimasukkan sebagai bagian dari Program Legislasi Daerah (Prolegda) tahun 2019 untuk dibahas secara mendalam oleh para legislator. Beragam pembahasan masih banyak berisikan materi tentang subsidi anggaran publik untuk promosi dan insentif bagi desa wisata, masalah kebijakan publik khusus seputar ketersediaan tenaga kerja, perlindungan kawasan cagar budaya, indikator penetapan sebagai desa wisata, ketersediaan dan sertifikasi pekerja, dan pelatihan keterampilan sektor pariwiwsata telah mengalami perdebatan panjang di tingkat legislatif. Naskah akademik dan rancangan perda telah dibuat namun belum sampai disahkan. Sampai pelantikan periode baru (2019-2024) kepemimpinan di Jawa Timur, perda tentang desa wisata masih dalam bentuk draf.

Keberadaan perda desa wisata perlu segera dibuat dan disahkan mengingat sampai saat ini belum ada regulasi yang bersifat legal-formal tentang desa wisata di wilayah Provinsi Jawa Timur. Peraturan daerah tentang desa wisata menjadi muatan strategis yang di dalamnya dilengkapi cakupan materi, urgensi, konsepsi, landasan  hukum, prinsip-prinsip yang digunakan dan pemikiran tentang norma-norma yang disajikan dalam bentuk uraian sistematis. Sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan pariwisata sesuai dengan prinsip-prinsip yang digunakan pemerintah daerah. Harapannya perda ini dapat memberikan panduan yang sangat jelas mengenai pembentukan dan pengembangan desa wisata yang bisa diimplementaskan dikemudian hari. (*)

Penulis: M. Nilzam Aly

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.ajhtl.com/uploads/7/1/6/3/7163688/article_8_se_gbcss_2019.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).