Analis Konvensional Dinilai Punya Banyak Kelemahan, Putu Kembangkan Inovasi yang Lebih Cepat dan Efisien

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Dalam melakukan perawatan ortodonti, seorang dokter gigi, khususnya orthodontist akan melaksanakan rangkaian prosedur yang berlaku. Salah satunya adalah cephalometric analysis atau analisis sefalometrik. Yakni, metode untuk mengidentifikasi kelainan serta menentukan posisi jaringan kraniofasial yang ideal, meliputi fungsional gigi.

Hingga saat ini, terdapat dua metode yang lazim digunakan dalam melakukan analisis sefalometri. Pertama, analisis konvensional yang dilakukan dengan cara menggambar landmark sefalometri dari hasil rontgen di kertas kalkir. Dan kedua, adalah analisis yang mengandalkan computerized (komputerisasi), berupa penggunaan aplikasi klinis tertentu.

Metode Konvensional Rentan Alami Kekeliruan dan Memakan Waktu

Meski aplikasi sefalometrik berbasis komputer dan digital telah banyak diciptakan, namun tidak semuanya menyodorkan fitur yang lengkap. Ditambah penggunaannya yang juga berbayar, membuat analisis konvensional masih menjadi primadona bagi orthodontist di Indonesia. Padahal, dari segi pengerjaan, analisis tersebut memiliki beberapa kelemahan.

“Contoh penggunaan analisis konvensional dalam perawatan ortodonti, yaitu untuk pemasangan kawat gigi. Sebelum membuat cetakan gigi, dokter harus nge-blat hasil rontgen gigi. Lalu diidentifikasi dan diukur satu persatu sesuai dengan nilai sefalometri yang ideal. Prosesnya dapat berlangsung sekitar 1-2 jam,” ungkap drg. Putu Indra, Sp.Ort.

Selain menyita waktu, analisis konvensional juga rentan mengalami kekeliruan, antara lain saat mengidentifikasi serta mengukur landmark. Kelemahan ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam proses pemberian layanan perawatan ortodonti. Oleh karena itu, perlu adanya inovasi atau pengembangan lebih lanjut dari analisis sefalometri yang sudah ada.

Proses pembuatan landmark sefalometri dari hasil rontgen pada media kertas kalkir merupakan tahapan dari metode analisis konvensional. (Ilustrasi: Cephx)

“Bayangkan ketika praktik, jumlah pasien yang datang banyak, lantas perlu berapa lama hanya untuk melakukan analisis saja? Akhirnya, saya mencoba mencari tahu aplikasi dan software analisis sefalometrik buatan orang-orang. Hasilnya, walaupun sudah berbasis digital, penggunaannya masih kurang efektif jika melalui komputer atau laptop,” ujarnya.

Pria yang akrab disapa Putu itu menilai, bila penggunaan analisis sefalometrik di personal computer (PC) serta laptop, cenderung tidak praktis untuk diakses dalam berbagai situasi. Sebagian di antaranya pun berbayar. Sementara pada ponsel, meskipun sudah tersedia dan lebih mudah diakses, namun belum memberikan hasil dengan keakuratan yang tinggi.

Mengetahui persoalan tersebut, Putu kemudian berinisiatif untuk membuat inovasi baru yang menggabungkan analisis konvensional dengan analisis berbasis digital, menjadi aplikasi analisis sefalometrik yang lebih praktis dan efisien. Demi merealisasikan idenya, Putu menggandeng rekannya, yakni Damarendra Nugroho, yang ahli di bidang teknologi.

“Saya berkolaborasi bersama Damar dalam membuat aplikasi analisis sefalometrik yang diakses di gadget. Kami berupaya menyajikan aplikasi dengan tingkat presisi tinggi agar ketika digunakan di gadget, baik ponsel maupun tablet jenis apapun, hasilnya tetap sama dan akurat. Melalui aplikasi kami, analisis dapat dilakukan selama 2-3 menit,” sebut Putu.

Menyederhanakan Analisis Sefalometrik ke dalam Fitur yang Ringkas

Aplikasi Orthoceph ciptaan Putu dan Damar. (Foto: Nabila Amelia)

Selama proses pembuatan, Putu mengaku jika dirinya dan Damar sempat menemui berbagai kendala. Apalagi, keduanya memiliki target untuk menghasilkan aplikasi analisis sefalometrik pertama di dunia yang memiliki tingkat presisi tinggi. Diperlukan ketelatenan juga usaha guna menyalurkan pemikiran mereka ke dalam suatu pemrograman komputer.

“Bisa dibayangkan, di dunia saja belum ada aplikasi yang seperti ini. Saya yakinkan ke Damar, kalau memang tidak bisa membuat ini presisi ya apa gunanya? Jadi kendala yang dihadapi sangat banyak, terutama dari segi algoritma. Mungkin, ke depan tantangannya akan bertambah,” jelas alumnus Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga itu.

Namun, perjuangan tersebut akhirnya berbuah manis karena sejak bulan November tahun lalu, mereka berhasil meluncurkan aplikasi analisis sefalometrik yang diberi nama Orthoceph dan dapat diunduh oleh para dokter gigi secara gratis di layanan Play Store. Meski baru seumur jagung, namun hingga kini telah tercatat sekitar 50 orang pengunduh.

“Kami hanya mengambil empat aspek yang paling penting dari analisis sefalometrik, yakni Steiner’s Analysis, Wendell-Wylie Analysis, Vertical Dimension Analysis, serta Soft Tissue Analysis. Hal itu dilakukan agar fitur yang ada di aplikasi Orthoceph bisa lebih ringkas. Selain itu, karena masih baru, kami hanya open access di Asia Tenggara dulu,” beber Putu.

Penyuka otomotif itu menjelaskan, ada beberapa fitur lain yang memudahkan pengguna. Di antaranya, fitur yang dapat membandingkan kondisi gigi ketika sebelum maupun sesudah melakukan perawatan. Lalu, fitur untuk mengoreksi hasil analisis. Kemudian fitur help yang membantu pengguna jika kesulitan, dan fitur untuk membagikan hasil analisis.

“Aplikasi ini hanya ditujukan bagi dokter gigi. Cara kerjanya mudah. Jadi, setelah pasien melakukan rontgen, hasilnya dishare ke orthodontist untuk dianalisis, sehingga mereka tidak harus datang ke klinik dulu. Hasil analisis juga bisa dibagikan ke antar dokter gigi atau pasien secara real time melalui bluetooth, email, whatsapp, dan lainnya,” terangnya.

Putu melanjutkan, saat ini, dia dan Damar masih memiliki pekerjaan rumah untuk terus melakukan pengembangan pada Orthoceph. Nantinya mereka berniat merambah ke iOs. Selain itu, terdapat fitur lain yang hendak ditambahkan, seperti literatur mengenai standar perawatan ortodonti, Discrepancy Analysis, serta penyempurnaan dari versi beta.

“Sejauh ini, respon kolega sesama dokter gigi yang sudah menggunakan Orthoceph cukup positif. Mereka senang sekaligus merasa terbantu karena bisa lebih cepat melakukan analisisnya. Bahkan, kami sudah mencoba membuat simulasi untuk orthognatic surgery. Tapi tetap butuh penyempurnaan. Kami juga sudah memperoleh hak cipta,” sambungnya.

Menurut Putu, baru-baru ini, FKG UNAIR mulai mengenalkan analisis sefalometrik yang menggunakan digital dentistry. Sayangnya, software itu berbayar serta memiliki banyak opsi. Berbeda dengan Orthoceph yang tidak berbayar dan lebih efisien. Oleh karena itu, ia berencana untuk mengenalkan inovasinya pada almamater tempatnya menuntut ilmu.

“Rencananya, saya ingin me-launching Orthoceph pada bulan Maret nanti. Waktu itu juga sudah menginformasikan ke Departemen Ortodonti FKG UNAIR pas aplikasinya belum selesai total. Kemudian oleh Prof. Dr. Drg. Ida Bagus Narmada, Sp.Ort(K)., diminta jadiin dulu. Kalau selesai main ke kampus lagi,” katanya sembari menirukan ucapan sang dosen.

Selain melakukan launching, Putu juga berniat untuk melakukan roadshow ke beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia yang memiliki FKG, seperti Universitas Hang Tuah dan Universitas Gadjah Mada. Niat itu kian mudah karena dirinya menerima tawaran dari sebuah laboratorium yang berniat menggaetnya sebagai mitra di bidang kedokteran gigi.

“Tujuan saya menyusun terobosan ini karena ingin semua masyarakat di Indonesia merasakan pelayanan yang sama di bidang kesehatan gigi dan mulut. Jangan hanya menunggu inovasi dari orang luar. Kita juga harus bikin. Sebab, karakteristik gigi dan mulut kita berbeda dengan mereka,” tandas pria yang sudah membuat tiga inovasi tersebut. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).