Dosen UNAIR Tekankan Pentingnya K3 Demi Tercapainya Produktivitas Pekerja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih menjadi aspek yang sering diabaikan, baik oleh industri maupun masyarakat. Hal itu disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti minimnya kesadaran dalam diri seorang pekerja, tuntutan kerja yang berlebihan, kondisi lingkungan, hingga fasilitas penunjang K3 yang kurang memadai.

Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada tahun 2018 mencatat sebanyak 157.313 dan 130.923 kasus kecelakaan kerja sepanjang bulan Januari sampai dengan September 2019. Sementara itu, menjelang akhir Februari 2020, sejumlah pemberitaan juga mulai menyoroti mengenai kecelakaan kerja yang sudah terjadi di beberapa tempat.

Sebagai contoh, kecelakaan yang baru-baru ini menimpa seorang pekerja proyek Jalan Tol Trans Sumatera. Dilansir dari Riaupos.co, pekerja tersebut tewas akibat terhimpit crane dan ditemukan dalam keadaan tidak menggunakan helm serta pakaian keselamatan. Kejadian itu pun sempat menuai respon dari Menteri Kemnaker (Menaker), Ida Fauziyah.

Ida menghimbau agar semua perusahaan tetap mengutamakan keselamatan kerja bagi seluruh karyawan. Sebab, kecelakaan kerja tidak hanya mengakibatkan pencemaran lingkungan, kerugian, dan kematian. Tetapi juga dapat memengaruhi produktivitas serta kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut disetujui oleh Dr. Noeroel Widajati, S.KM., M.Sc.

“Tujuan K3 adalah melindungi pekerja dari ancaman kecelakaan maupun penyakit yang disebabkan oleh hazard di lingkungan kerja. Penerapannya telah dimulai sejak zaman Belanda melalui Stoom Ordonantie 1930. Namun, setelah zaman kemerdekaan, regulasi itu diperbarui menjadi UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,” ungkapnya.

Ketua Departemen K3, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Airlangga itu menuturkan bahwa kecelakaan kerja dapat diminimalisir melalui berbagai macam upaya. Salah satunya adalah memberikan pemahaman kepada pekerja mengenai lima faktor yang bisa membahayakan mereka di lingkungan kerja beserta solusi untuk mengatasinya.

Noeroel menguraikan, pertama adalah faktor fisik seperti peralatan atau lingkungan yang kurang mendukung. Kedua, faktor biologis atau sesuatu yang dapat memengaruhi kesehatan pekerja. Ketiga, ialah faktor kimia (paparan bahan kimia). Keempat, faktor fisiologis (fisik), yakni penerapan ergonomi yang tidak baik. Dan, kelima faktor psikologis.

“Misalnya pada pabrik keramik. Dalam proses pembuatan keramik, diperlukan bahan baku berupa serbuk silikat. Padahal, paparan debu dari silikat bisa menyebabkan efek seperti kanker silicosis kronis apabila terhirup manusia. Jika sudah terjadi seperti itu, siapa pihak yang paling dirugikan? Ya pekerja,” ujar peminat riset toksinologi industri tersebut.

Oleh karena itu, semua perusahaan wajib memberikan pemahaman yang dapat diberikan melalui empat jenis sosialisasi. Yakni, safety briefing (dilakukan sebelum memulai kerja), safety induction (diperuntukkan bagi pekerja baru), safety patrol (pengecekan kondisi lapangan oleh Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3)), dan safety talk.

“Tidak semua perusahaan mampu mengusahakan fasilitas K3 karena harganya yang terbilang mahal. Tetapi, bukan berarti itu menjadi alasan untuk tidak melakukan proteksi terhadap pekerja. Sebagai alternatif, mereka bisa menyediakan alat pelindung diri (APD) seperti masker, earplug, helm, serta safety shoes yang sesuai dengan hazard,” lanjutnya.

Saat ini, perusahaan khususnya di bidang konstruksi kian memperketat regulasinya. Jika belum memiliki standar K3, perusahaan tersebut tidak akan memperoleh tender. Bahkan, perusahaan juga telah menjamin keamanan semua pihak, mulai dari pegawai tetap, buruh lepas, pengunjung, hingga mahasiswa yang hendak menjalankan penelitian atau magang.

Pemerintah perlu memberikan sosialisasi terhadap pekerja di sektor informal, salah satunya adalah pengrajin sepatu. (Ilustrasi: Unsplash/Raul Ortega)

Risiko kecelakaan kerja tidak hanya menghantui pekerja di sektor formal, tetapi juga sektor informal, seperti nelayan, petani, dan home industry. Untuk mencegah risiko tersebut, pemerintah melalui Kemenkes telah menyediakan Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) Puskesmas yang bertugas melakukan sosialisasi K3 pada pekerja di sektor informal.

“Biasanya Pos UKK akan terjun langsung ke sektor informal guna menyosialisasikan K3. Sebagai contoh, di industri sepatu. Dalam proses pembuatan sepatu, diperlukan bahan baku lem yang memiliki kandungan pelarut toluene dan bersifat karsinogenik. Oleh sebab itu, pengrajin harus diperkenalkan bahayanya dan APD yang harus digunakan,” terangnya.

Noeroel menegaskan, baik perusahaan maupun para pemangku kepentingan, memiliki tanggung jawab dalam menciptakan lingkungan kerja yang produktif serta menyediakan fasilitas K3. Begitu juga ketika terjadi kecelakaan kerja. Perusahaan wajib memberikan kompensasi atau pengobatan kepada pekerja yang terkena dampak dari kecelakaan kerja.

“Saya berharap agar pekerja bisa semakin mandiri dalam menerapkan K3. Tidak selalu menunggu perusahaan. Sekarang kan internet sudah mudah diakses. Hal tersebut harus dimanfaatkan untuk mencari informasi seputar K3, sehingga pekerja mampu melakukan pencegahan terhadap dirinya sendiri. Jadi, lebih sigap dan tanggap,” pungkas Noeroel. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).