Kembali Booming, Dosen Psikologi UNAIR Tanggapi Fenomena Tik Tok dari Sisi Psikologis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Setelah sempat diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada tahun 2018, kini aplikasi tik tok kembali ramai digunakan masyarakat. Bahkan tidak hanya remaja saja yang menggunakan aplikasi jejaring sosial dan platform video musik asal Tiongkok itu, namun gubernur, politisi, dan kalangan selebriti juga dilanda ‘demam’ tik tok. Dilansir dari kompas.com, aplikasi tersebut saat ini menduduki posisi kedua setelah whatsapp dengan jumlah unduhan terbanyak di playstore.

Melihat fenomena itu, dosen Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Ike Hendriana, M.Psi., Psikolog, memberikan tanggapannya. Menurutnya, alasan banyaknya masyarakat yang menggunakan tik tok adalah sebagai hiburan atau entertainment. Selain itu, Ike menganggap bahwa booming nya tik tok juga digunakan banyak orang untuk menarik perhatian masyarakat supaya memberikan like atau follow kepada akun mereka. Sehingga hal itu bertujuan untuk ‘melanggengkan’ pengikut atau follower selebgram di media sosial (medsos).

Dari sudut pandang psikologi, fenomena tik tok itu kembali pada kebutuhan masing-masing individu. Kita tidak bisa membuat standar tentang kebutuhan ini karena sifatnya personal,” terangnya.

Kendati demikian, konselor di Help Center UNAIR itu juga menyatakan bahwa tik tok juga menuai pro dan kontra bagi masyarakat. Ike menjelaskan bahwa kelompok yang pro kemungkinan melihat aplikasi tersebut sebagai suatu hal yang wajar di era medsos saat ini. Dia menilai bahwa anak-anak yang bermedsos sekarang ini sudah termasuk kelompok digital native, sehingga mereka dengan cepatnya dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan digital. Sedangkan bagi kelompok yang kontra, dosen kelahiran Bandung itu menganggap kelompok tersebut selalu membahas tentang kemanfaatannya. Mereka beranggapan bahwa tik tok kurang memberikan pendidikan yang baik dan tidak sejalan dengan nafas literasi digital yang seharusnya diajarkan kepada anak-anak.

Lebih lanjut, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa orang yang bermain tik tok itu alay. Dosen psikologi kepribadian dan sosial itu melihat bahwa label alay bukanlah konvensi sosial. Sehingga apabila banyak public figure yang ikut ramai bermain tik tok, hal itu tidak perlu dinilai sebagai suatu pergeseran.

“Sebelum diblokir, dulu ada yang bilang tik tok itu alay, sekarang kalo dilakukan survey juga masih ada orang yang bilang seperti itu. Artinya, istilah alay itu keluar dari orang-orang yang kontra dan alay tidak mempresentasikan banyak orang,” tegasnya.

Terakhir, Ike berharap dengan dibukanya kembali aplikasi tik tok, Kemkominfo harus menerapkan beberapak regulasi yang salah satunya adalah tidak boleh ada konten kekerasan atau pornografi. Selain itu, orang dewasa dan orang tua juga diimbau untuk memberikan pendampingan dan pengawasan kepada anak-anaknya.


“Mengingat pengguna tik tok saat ini sangat bervariasi dari segi usia, maka anak-anak harus tetap diawasi agar tidak terpapar hal negatif media sosial. Begitupun dengan orang dewasa supaya tidak membuat konten negatif yang dapat dilihat dan ditiru oleh remaja yang cara berfikirnya belum matang,” tutupnya.

Penulis : Nikmatus Sholikhah

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).