Bolehkah Orang Tua Melakukan White Lies Demi Kebaikan Anak?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWSAyo, kalau tidak lekas tidur nanti didatangi hantu; Kalau nakal nanti ayah telepon pak polisi; Kalau makanannya tidak dihabiskan nanti ayamnya mati.

Pernyataan-pernyataan tersebut tentu pernah kita dengar semasa kecil, bahkan masih sering diucapkan orang tua hingga saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang tua menganggap kebohongan yang mereka lakukan bertujuan untuk mengubah keadaan dan perilaku anak.

Contoh berbohong lain yang sering kita dengar adalah orang tua yang memberi janji palsu kepada anak. Biasanya ini dilakukan saat si anak merengek minta mainan, tapi orang tua enggan menuruti. Dengan janji palsu, orang tua berharap si kecil akan lupa dengan permintaannya.

Terdapat beberapa situasi yang menyebabkan orang tua berbohong pada anak. Seringkali hal tersebut dilakukan orang tua untuk melindungi perasaan anak agar tidak merasa kecewa atau sedih. Kebohongan jenis ini termasuk jenis white lies atau kebohongan yang bertujuan baik. Lantas, bolehkah orang tua berbohong demi kebaikan sang anak?

Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes dosen psikologi UNAIR memberikan penjelasan terkait perilaku white lies yang umum dilakukan orang tua. Menurut dia, meskipun bermaksud baik, namun orang tua perlu mempertimbangkan akibatnya pada perkembangan mental anak. Sering berbohong pada anak dapat menyebabkan nalar anak kurang berkembang dan dapat membuat anak bingung. Selain itu kebohongan orang tua akan menimbulkan tanda tanya dan rasa tidak nyaman pada anak.

“Berbohong sejatinya tidak dibenarkan meskipun bertujuan untuk menyenangkan anak. Sikap dan respon orang tua seharusnya menyatakan kebenaran dengan bahasa yang tidak menyakiti hati anak dengan memilih cara mengomunikasikan yang bisa diterima anak dengan lapang,” terang Nurul.

Sebab anak melihat orang tua sebagai sumber informasi yang akurat dan bisa diandalkan. Ketika orang tua berbohong dan si anak mengetahui kenyataan yang sebenarnya, bukan tak mungkin si anak akan ragu terhadap dirinya sendiri, bahkan meniru perilaku orang tua untuk berbohong. Dalam penelitian Hays dan Carver di Science Daily, disebutkan bahwa anak cenderung berbohong kepada orang yang juga berbohong kepada mereka. Mereka lalu merasa tak perlu menjunjung komitmen kepada orang yang sudah membohonginya.

Oleh sebab itu, lanjut Nurul, berkomunikasi secara terbuka terhadap anak adalah kunci kesuksesan membangun relasi harmonis orang tua – anak. Strategi berkomunikasi pada setiap anak dan orang tua pasti berbeda karena setiap anak memiliki keunikan dengan karakteristik tertentu.

“Demikian juga setiap tahapan perkembangan anak menunjukkan pola dan seni berkomunikasi yang tidak sama. Kenali dengan benar karakteristik anak melalui relasi attachment (kasih sayang) yang kuat dan positif. Insyaallah orang tua akan mampu membangun komunikasi efektif dengan anak,” jelasnya. (*)

Penulis: Zanna Afia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).