Dilema RUU Ketahanan Keluarga

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh liputan6.com

Masih dipeluk setan, alergi peradaban

Alergi kemajuan, mendorong kemunduran

Kami Belum Tentu – .Feast

Alangkah pantasnya kutipan lirik lagu grup musik asal Jakarta ini mengawali sepotong opini yang akan saya liarkan ini sebagai intro sekaligus bentuk renungan tentang masih banyaknya kecacatan yang terjadi di negeri tercinta kita ini.

Ditengah-tengah pro-kontra Omnibus Law yang tak kunjung surut, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan adanya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU Halu). Diusulkan oleh politisi dari fraksi partai Gerindra, PKS, PAN, dan Golkar, RUU ini muncul dengan latar belakang maksud untuk mengembalikan nilai-nilai luhur kekeluargaan yang ‘katanya’, telah luntur dikarenakan pengaruh globalisasi dan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi informasi. RUU Halu ini mengatur hal-hal kekeluargaan seperti hak dan kewajiban anggota keluarga, perkawinan, pengangkatan anak, dll, yang semuanya bertujuan untuk terselenggarakannya suatu bentuk Ketahanan Keluarga. Menurut Pasal 1 angka 2 RUU Halu, Ketahanan Keluarga sendiri adalah kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mencapai tujuan yaitu keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional.

Tentu saja, RUU Halu ini menimbulkan banyak sekali kontroversi yang garis besarnya bahwa RUU ini dapat mengancam ruang privat warga negara, membatasi peran perempuan secara sistemik, dan secara umum berpotensi melanggar hak asasi manusia.Saya sendiri menilai bahwa banyak sekali kecacatan dan aturan-aturan yang tidak masuk akal. Setidaknya, ada tiga poin penting yang menjadi fokus utama dalam opini saya bahwa RUU Halu ini merupakan suatu bentuk pendorong kemunduran negeri

Bertentangan dengan UUD 1945

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3), diatur tentang hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dimana Undang-Undang (UU) memiliki kedudukan lebih rendah daripada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Perlu diketahui, sistem hukum Indonesia menganut asas lex superior derogat legi inferior, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dikesampingkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, akan sangat aneh bila dalam Pasal 16 ayat (1) RUU Halu mengatur bahwa salah satu kewajiban anggota keluarga dalam menyelenggarakan Ketahanan Keluarga adalah untuk menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama berdasarkan agama yang dianut. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 dimana beragama dan beribadah menurut agamanya itu merupakan suatu hak yang dijamin oleh negara. RUU tersebut bertentangan karena negara tidak memiliki wewenang untuk mewajibkan seseorang menjalankan perintah agamanya, negara hanya menjamin perlindungan hak seseorang untuk menjalankan perintah agamanya

Seksis

Upaya untuk melanggengkan ketidaksetaraan gender juga dapat ditemui dalam RUU ini, dimana perempuan dimaksudkan untuk kembali ke berperan dalam ranah domestik saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) dimana seorang istri dibebankan untuk mengurus rumah tangga dan seorang suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban untuk mencari nafkah. Penetapan peran suami dan istri seperti ini telah usang dan ketinggalan zaman, melupakan fakta bahwa adanya istri yang bekerja mencari nafkah dan suami mengurus ranah domestik, adanya keluarga dimana si istri dan suami sama-sama mencari nafkah dan mengurus ranah domestik

Penetapan peran seperti ini juga akan berdampak negatif terhadap baik perempuan, maupun laki-laki. Menempatkan istri sebagai pelayan keluarga, dapat menyebabkan seorang perempuan rentan menerima kekerasan diakibatkan posisi yang tidak setara. Dilansir dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019, pada tahun 2017 terdapat 348.466 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang meningkat menjadi 406.178 kasus pada tahun 2018. Data menunjukkan dengan gamblang bahwa posisi perempuan masih belum setara dan akan lebih tidak disetarakan lagi apabila RUU ini disahkan. Di sisi laki-laki, penetapan peran suami sebagai pemimpin dan tameng utama suatu keluarga dari permasalahan seperti kekerasan dan penyimpangan seksual dapat turut berpotensi dalam berkembangnya budaya patriarkis yang berlebihan, yang seringkali berakibat pada toxic masculinity, dimana seorang laki-laki ditatar untuk harus menunjukkan maskulinitasnya, tidak boleh cengeng atau takut terhadap beberapa hal yang remeh seperti perempuan. Tanpa disadari, hal tersebut juga sangat berbahaya untuk psikis seorang laki-laki dikarenakan merekapun memiliki emosi yang apabila ditunjukkan secara publik, mereka tidak terlihat manly, jadi mereka memendam itu. Data dari WHO menyatakan bahwa kematian karena tindakan bunuh diri terjadi sekitar hampir 2 kali lebih sering di antara laki-laki daripada perempuan pada tahun, dengan rasio bunuh diri antara laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah hampir 3:1.

Kategorisasi Penyimpangan Seksual yang Ngawur dan Berpotensi Berbahaya

Frasa ‘penyimpangan seksual’ dalam RUU ini acap kali disebut, sebagai salah satu bentuk krisis keluarga yang harus direhabilitasi oleh pemerintah dan apabila orang tua telah terpidana melakukan penyimpangan seksual dapat kehilangan hak asuh anak. Mengejutkannya, dalam penjelasan Pasal 85 ayat (1) dijelaskan contoh-contoh penyimpangan seksual yang meliputi sadisme, masokisme, dan hubungan seksual sesama jenis atau homoseks dan lesbian

Menurut saya, pengaturan pasal ini tidak hanya lagi-lagi menerobos ranah privat seseorang, namun juga tidak memperhatikan fakta medis dan psikologis yang konkrit untuk mengatakan bahwa ketiga jenis aktivitas seksual ini termasuk dalam kategori penyimpangan seksual. Salah satu contohnya, World Health Organization (WHO) telah menghapus homoseksualitas dari klasifikasi penyakit mental sejak tahun 1990. James Cantor, seorang psikolog klinis, mengeluarkan studi literatur pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa homoseksualitas dan penyimpangan seksual merupakan 2 kategori yang berbeda. Rasanya, penyusun undang-undang hanya mendasarkan pada perspektif teologis saja.

Dalam Pasal 86 dan Pasal 87, dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan penyimpangan seksual wajib dilaporkan oleh anggota keluarganya atau melaporkan diri apabila telah dewasa, ke lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan. Lembaga rehabilitasi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 85, meliputi rehabilitasi sosial, psikologis, dan bimbingan rohani. Dilihat dari faktor ekonomi, mengingat lembaga rehabilitasi ini diselenggarakan oleh pemerintah, tentu akan sangat membuang-buang anggaran negara hanya untuk ‘mengobati’ seseorang yang homoseks atau menikmati hubungan seksual dengan cara BDSM. Yang lebih berbahaya lagi, mengingat bahwa hubungan sesama jenis bukanlah penyakit mental, maka tentu tidak ada metode terapi yang terstandarisasi untuk dalam menyembuhkan “penyimpangan seksual” itu. Hal ini tentu merupakan malapraktik yang dapat berpotensi membahayakan kesehatan fisik dan mental seseorang tersebut.

Sebenarnya, kecacatan RUU ini tidak cukup hanya dijelaskan dengan 3 poin saja, saya masih belum menyentuh tentang isu-isu lain seperti penyeragaman keluarga yang bias kelas dalam Pasal 33, namun saya cukupkan sampai disini. Atas penjelasan kecil saya diatas, saya sebagai warga negara Indonesia, menyatakan sikap tegas untuk menolak RUU Ketahanan Keluarga karena hanya akan menimbulkan banyak problema baru yang akan mendorong Indonesia menuju kemunduran dan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merampungkan produk hukum yang lebih penting seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Data Pribadi yang akan menjadi kemajuan besar Indonesia apabila disahkan.

Penulis: Pradnya Wicaksana (Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2019)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).