Menilik Hukum Kedudukan Mamak Kepala Waris di Minangkabau

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Mayoritas masyarakat Minangkabau beragama Islam, sehingga masyarakat yang selalu taat dan patuh pada hukum agamanya. Pemeluk agama Islam di Minangkabau sangatlah kuat. Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur’an) merupakan cerminan adat Minangkabau yang berlandaskan hukum Islam. Namun meskipun berdasarkan hukum Islam, masyarakat Minangkau juga sangat patuh dan menjunjung tinggi hukum adat. Baginya, hukum adat merupakan warisan dari nenek moyang yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dilestarikan dan dipertahankan dari generasi ke generasi seketurunannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan tata cara perkawinan yang masih banyak menggunakan hukum adatn dan tata cara mereka dalam membagi harta warisan.

Dalam norma hukum adat Minangkabau, masyarakat masih mempertahankan garis keturunan perempuan atau ibu (Matrilineal), dimana hukum waris adatnya masih terkait erat dengan sistem kekerabatan dari pihak ibu, yaitu mereka yang berasal dari satu ibu asal yang dihitung dari garis ibu, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu dan saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan, dan seterusnya menurut garis keturunan perempuan.

Oleh sebab itu dengan sendirinya semua anak dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal dunia adalah seorang laki-laki atau suaminya, maka anak-anaknya dan istri yang ditinggalkan tidak menjadi ahli waris untuk harta peninggalan suaminya, namun yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya (anak-anak dari saudara perempuannya).

Kedudukan Mamak Kepala Waris pada masyarakat Minangkabau sangat penting, karena merupakan jabatan dalam suatu kaum yang bertugas memimpin seluruh anggota kaum, mengurus, mengatur, mengawasi dan bertanggung jawab atas harta pusaka kaum. Oleh sebab itu mamak Kepala Waris tersebut dalam kedudukannya yang akan mengurus dan mengembangkan harta pusaka tinggi untuk kepentingan anak kemenakannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam pembagian harta waris pada masyarakat Minangkabau dapat menggunakan hukum Islam dan hukum waris adat Minangkabau.

Penelitian hukum ini merupakan penelitian sosio-legal research, yang menurut sifatnya dapat digolongkan dalam jenis penelitian deskriptif analitis. Dinyatakan sebagai penelitian hukum empiris (sosio-legal research), karena penelitan ini meneliti perilaku masyarakat Minangkabau yang sistem kekerabatannya matrilineal, dimana kedudukan perempuan paling dominan dibandingkan laki-laki, sehingga akan berpengaruh pula pada pembagian harta warisanya.

Berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal, kedudukan mamak kepala waris memegang peranan penting karena dianggap sebagai pelindung anggota keluarga. Selain itu mamak kepala waris juga bertanggung jawab terhadap kemenakan-kemenakannya. Oleh sebab itu mamak kepala waris selalu menjadi juru bicara dalam setiap acara-acara rapat dan pertemuan terkait dengan hukum adat Minangkabau. Dapat dikesimpulkan bahwa tugas dan tanggung jawab seorang laki-laki Minangkabau sebagai Mamak Kepala Waris sangat besar terhadap kemenakan-kemenakannya dan adanya hubungan timbal balik antara mamak dan kemenakan. Sehingga menimbulkan tertib bermamak-berkemenakan dalam masyarakat Minangkabau yang berdasarkan sistem kekerabatan Matrilineal. Oleh sebab itu tanggung jawab mamak kepala waris sangatlah besar jika dibandingkan dengan tanggung jawab orang tua kepada anaknya. Dalam hal ini dikarenakan tugas dan tanggung jawab serta kewajiban mamak kepala waris sebagai saudara laki-laki dari ibu terhadap kemenakannya baik kemenakan laki-laki maupun perempuan.

Di Minangkabau kedudukan harta pusaka tinggi pada realitanya mengalami perkembangan di antaranya, yaitu kedudukan, fungsi dan peranan mamak kepala waris terhadap harta pusaka tinggi yang akhir-akhir ini mengalami pergeseran. Misalnya di beberapa daerah Minangkabau           (di Kecamatan Banu Hampu Pemerintahan Kota Agam dan di kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang), harta pusaka tinggi mengalami penyusutan, dikarenakan adanya harta pusaka yang telah diperjualbelikan.

Pada umumnya harta pusaka tinggi berupa tanah, diperjualbelikan untuk keperluan pembangunan, misalnya untuk pembangunan kantor-kantor Pemerintah, sarana pendidikan (sekolah-sekolah), lokasi pariwisata, hotel, untuk dijaminkan atau agunan dalam proses permohonan permintaan kredit di bank (setelah di jadikan penerbitan sertipikat tanah) dan lain sebagainya. Terkait dengan pemindahan hak atas tanah harta pusaka tinggi tersebut dapat dilakukan secara musyawarah dan mufakat kaum terlebih dahulu antara kaum dan mamak kepala waris.

Terkait dengan hukum waris Islam pada masyarakat Minangkabau, karena adanya ketentuan hukum adat bersendi Syarak dan Syarak bersendi KitabuIlah’ (adat bersendi hukum Islam, Hukum Islam bersendi Al-Qur’an) setelah masuknya Islam dalam masyarakat Minangkabau Oleh karena itu dapat disimpulkan antara hukum adat dan hukum Islam tidak akan bertentangan satu sama lain karena masyarakat Minangkabau yang menempatkan hukurn islam yang ada dalam Al-Qur’an sebagai hukum yang lebih tinggi dari hukum Adat. Maka sehubungan dengan itu hukum kewarisan Minangkabau selalu dibedakan antara harta pusaka dan harta pencahariaan; dimana harta pusaka diturunkan berdasarkan ketentuan adat (menurut garis Ibu secara kolektif), sedangkan harta pencaharian diturunkan berdasarkan hukum Islam (menurut garis bilateral secara individual). Ketentuan diatas tidak ada dasar hukum forrnalnya, melainkan hanya dilakukan berdasarkan penyelesaian di pengadilan kasus perkasus dan mufakat.

Penulis: Dr. Ellyne Dwi Poespasari, S.H., M.H.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).