Pakar Farmasi UNAIR Ungkap Efek GHB, Obat yang Digunakan Reynhard Sinaga untuk Membius Korbannya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Masih segar dalam ingatan kita mengenai peristiwa kekerasan seksual yang sempat menggemparkan Kota Manchester, Inggris, pada awal Januari lalu. Seorang Warga Indonesia bernama Reynhard Sinaga, divonis bersalah oleh pengadilan setempat setelah terbukti melakukan tindakan tidak terpuji yang menjerat ratusan korban tersebut.

Menurut sejumlah pemberitaan, Reynhard melaksanakan niat jahatnya dengan cara menjebak korban melalui tawaran menginap sementara atau sekedar mengisi baterai ponsel di flat miliknya. Ia memanfaatkan momentum korban, yakni para pemuda yang baru saja menghabiskan waktu di diskotik sekitar kediamannya dan dalam kondisi mabuk.

Saat melancarkan aksinya, pihak berwenang menduga bahwa terdakwa menggunakan sebuah obat untuk membius korbannya. Dugaan tersebut muncul setelah mendengar penuturan sejumlah korban yang menyatakan jika sebelum jatuh dalam kondisi tidak sadar, mereka diberi air. Namun, rupa air itu tidak bening atau seperti disertai larutan lain.

Para ahli dalam persidangan meyakini apabila Reynhard mencampur minuman korbannya dengan menggunakan Gamma-hydroxybutyric acid (GHB) atau obat lain yang mempunyai efek serupa. Setelah meminumnya, korban akan tidak sadarkan diri dan bangun dengan kondisi linglung. Keadaan itu lalu dimanfaatkan terdakwa untuk melakukan pemerkosaan.

Penggunaan GHB: Dari Obat Anestesi hingga Rape Drugs

Obat GHB seringkali beredar di kalangan pengunjung diskotik. (Ilustrasi: Unsplash/Sarthak Navjivan)

Menurut pengajar asal Departemen Farmasi Klinis, Fakultas Farmasi (FF), Universitas Airlangga, Mahardian Rahmadi, S.Si., M.Sc., Ph.D., obat yang juga dikenal dengan istilah 4-hydroxybutanoic acid dan sodium oxybate itu telah diproduksi sejak lama. Tujuannya untuk menemukan obat baru yang sifatnya mirip seperti obat anticemas benzodiazepines.

Obat GHB pertama kali disintesis oleh seorang ilmuwan Prancis bernama Dr. Henri Laborit pada tahun 1960. Dalam eksperimennya, Laborit menemukan hasil bahwa GHB memiliki potensi sebagai agen farmakologis yang kuat. Selain itu, penggunaan dalam dosis tinggi dapat membuat obat tersebut menghasilkan deep sedation serta mengakibatkan kantuk.

“Otoritas kesehatan di Amerika maupun Eropa sudah melegalkan GHB sebagai obat yang diindikasikan untuk mengatasi ketergantungan morfin dan alkohol, pengobatan bagi penderita narkolepsi dengan katapleksi, serta obat anestesi. Meski begitu, GHB hanya boleh diberikan melalui special prescription atau di bawah pengawasan dokter,” ujarnya.

Dalam perkembangannya di Eropa dan Amerika, GHB sempat populer digunakan sebagai suplemen makanan yang dapat dibeli tanpa resep dokter karena dipercaya bisa merangsang produksi hormon pertumbuhan, membentuk otot, dan membakar lemak. Tak hanya itu, GHB diketahui mampu meningkatkan libido serta gairah seks pada manusia.

“Dalam penelitiannya di tahun 1972, Laborit menjelaskan jika GHB memberikan efek sex enhancing. Karenanya, GHB juga dimanfaatkan dalam aktivitas seksual sekaligus menjadi primadona, terutama bagi pengunjung diskotik dan pesta tertentu. Ditambah dengan peredarannya yang mudah, membuat obat ini rawan untuk disalahgunakan,” ungkapnya.

Meningkatnya laporan terkait GHB, termasuk penyalahgunaannya dalam kriminalitas seperti pemerkosaan, mendorong pihak berwenang untuk mengawasi peredarannya. Memasuki tahun 1990, the US Food and Drug Administration (FDA) mendeklarasikan GHB sebagai zat kimia yang tidak aman dan menarik peredarannya di pertokoan secara bebas.

Beberapa regulasi lain di antaranya adalah the 1971 United Nation Convention tentang Psikotropika pada tahun 2001 dan the UK Misuse of Drugs Act oleh pemerintah Inggris di tahun 2003. Namun, adanya regulasi tersebut tidak lantas menghentikan peredaran GHB.

“Hampir semua negara besar yang ada di Eropa maupun Amerika sudah melegalkan GHB sebagai salah satu sarana pengobatan. Lain halnya dengan Indonesia yang masih ilegal. Walaupun sebenarnya memungkinkan untuk didaftarkan sebagai obat legal karena GHB memiliki efek therapeutic dan termasuk zat psikotropika golongan tiga,” jelas Mahardian.

Efek Samping yang Ditimbulkan Ketika Mengonsumsi GHB

Salah satu dampak GHB adalah memunculkan deep sedation dan rasa mengantuk pada penggunanya. (Ilustrasi: Unsplash/Yuris Alhumaydy)

Menurut anggota Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika ini, GHB memiliki karakteristik berupa cairan yang tidak berbau dan sedikit asin. Secara struktur kimia, GHB termasuk kategori depresan, yakni zat yang berfungsi mendepresi sistem saraf pusat. Biasanya, GHB beredar dalam bentuk cairan, bubuk putih, atau kapsul.

“Untuk pengobatan, jumlah dosis yang bisa dikonsumsi secara oral antara 1,8-2,7 gram. Artinya, satu tablet sekitar 450-900 miligram dengan waktu dua sampai tiga kali sehari. Sementara jika diberikan melalui metode intrafena sebanyak 65 miligram/kilogram atau setara dengan 5-6 kali dosis normal. Dampaknya, bisa menyebabkan orang tidur,” urainya.

Obat GHB akan bekerja pada waktu 15-30 menit setelah dikonsumsi dan memberikan efek yang berlangsung selama 1-6 jam. Beberapa efek yang ditimbulkan saat menggunakan GHB sesuai dengan dosis umum akan menyebabkan timbulnya kantuk, euforia, perasaan tenang, dorongan untuk melakukan aktivitas seksual, dan meningkatkan rasa percaya diri.

“Perasaan euforia timbul karena GHB mampu meningkatkan pelepasan neotransmitter dalam otak yang disebut dopamine. Ketika hal itu terjadi, maka produksi dopamine akan meningkat dan menciptakan perasaan tersebut. Namun, tetap tidak dianjurkan untuk mengonsumsi GHB tanpa adanya resep atau pengawasan dari dokter,” imbuh Mahardian.  

Konsumsi GHB dengan dosis yang berlebih akan memicu berbagai efek samping lainnya yang ditandai dengan perubahan pada cara bicara dan koordinasi motorik. Antara lain, berkeringat, hilangnya kesadaran, mual, halusinasi, sakit kepala, muntah, kelelahan, lesu, amnesia, munculnya rasa cemas secara berlebihan, insomnia, tremor, hingga kecanduan.

“Apalagi jika GHB dikonsumsi dalam dosis tinggi yang bersamaan dengan alkohol atau zat lain seperti halnya ganja, kokain, metamfetamin, dan ekstaksi. Kombinasi itu membuat efek obat berlangsung lebih kuat dan lama, disertai dengan gejala efek samping mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, koma, bahkan berujung pada kematian,” tuturnya.

Dilansir dari The Guardian, dalam sebuah data yang diperoleh dari Global Drug Survey tercatat sekitar 1000 pengguna GHB. Akibat konsumsi obat tersebut, sebanyak satu dari empat wanita dan satu dari enam pria mengalami overdosis dalam 12 bulan terakhir saja. Yang mengkhawatirkan adalah sebagian pengguna GHB masih berusia di bawah 25 tahun.

Ketika penggunaan GHB sudah berlangsung secara kronis atau pasien meningkatkan dosis penggunan GHB secara mandiri, menandakan pasien telah mengalami ketergantungan. Jika kondisi itu terjadi, maka diperlukan sebuah upaya medis, seperti program rehabilitasi.

Terkait dengan distribusi beserta penggunaan GHB, setiap negara di dunia mempunyai kebijakan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan otoritas masing-masing yang memiliki penilaian mengenai manfaat dan risiko yang berbeda terhadap GHB. Namun, hampir seluruh negara mengkategorikan obat itu sebagai zat yang harus dikontrol peredarannya.

“Meskipun GHB legal dan bisa diperoleh di sejumlah negara, tetapi saat dibawa ke Indonesia menjadi ilegal karena termasuk dalam Narkotika Golongan I sebagaimana yang tercantum di UU Nomor 35 Tahun 2009. Selain itu, GHB juga belum terdaftar, sehingga merupakan narkotika jenis baru (NPS),” pungkas jebolan Hoshi University, Jepang, ini. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).