Kekerasan Seksual Tak Pandang Gender, Pinky Saptandari Sosiolog UNAIR Angkat Bicara

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Beberapa waktu yang lalu ramai pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pria asal Indonesia di Manchester, Inggris. Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada ratusan laki-laki tersebut menjadi hal yang tidak biasa terjadi di Indonesia karena pada umumnya kekerasan seksual hanya menimpa kaum perempuan.

Menanggapi kasus tersebut, Dr. Pinky Saptandari EP, Dra., MA yang merupakan pengamat isu terkait keperempuanan angkat bicara mengenai kasus kekerasan seksual yang ramai menjadi perbincangan. Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, tidak memandang gender melainkan dominasi pelaku terhadap korban.

“Kekerasan seksual itu bisa terjadi karena adanya dominasi baik dominasi kekuatan, kekuasaan, dan kekayaan. Mungkin yang selama ini terekspos korbannya perempuan karena memang yang terbanyak dari kalangan perempuan dan anak. Namun bukan berarti laki-laki tidak ada yang menjadi korban, belakangan kasus kekerasan laki-laki terhadap laki-laki juga banyak terjadi,” ujar Pinky sapaan akrabnya.

Pinky mengatakan kekerasan seksual yang terjadi terhadap laki-laki pun harus mendapatkan perhatian yang serius karena menurutnya kekerasan seksual tetap akan menimbulkan traumatis yang sama siapapun korbannya. Ketika kasus korban kekerasan seksual tidak mendapatkan penanganan dan pendampingan yang tepat baik secara fisik maupun psikis tidak menutup kemungkinan ia akan melakukan hal yang sama kemudian hari.

“Selama ini penanganan korban kasus kekerasan seksual itu hanya terbatas pada fisik, penyembuhan luka fisik saja tidak cukup. Ada trauma yang begitu mendalam menghantui korban, sering kali korban kekerasan seksual ini merasa tidak berharga, yang lebih parahnya korban juga masih harus menanggung cibiran dari lingkungan yang menyalahkan dirinya,” tambahnya.

Budaya menyalahkan korban masih melekat di masyarakat Indonesia, kerap kali korban kekerasan seksual dihujani pertanyaan mengenai pakaian yang dikenakan. Pinky juga menyebutkan dalam beberapa kasus korban dituduh menggoda pelaku sehingga kekerasan seksual dapat terjadi.

“Korban harus dilindungi, korban jangan sampai merasa bersalah. Sering kali kita itu malah menyalahkan korban. Ketika kita berbicara korban kekerasan seksual tidak hanya yang berpakaian mini, pada kenyataannya yang menutup diri dengan jilbab pun ada yang menjadi korban,” tutur dosen Antropologi tersebut.

Pada negara maju tak hanya korban yang mendapatkan perhatian, namun pelaku juga harus melewati pemeriksaan secara lengkap secara kejiwaan dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang pelaku melakukan kekerasan seksual. Di Indonesia sendiri pemeriksaan kejiwaan tersebut sering kali luput dari rentetan proses penangaan kasus kekerasan seksual, kesadaran negara tentang gangguan psikologis yang mendorong terjadinya penyimpangan masih sangat minim.

“Pada kasus kekerasan seksual dengan laki-laki sebagai korban, masyarakat malah lebih terfokus pada orientasi seksual pelaku. Padahal yang harusnya jadi perhatian adalah jumlah korbannya yang mencapai ratusan,” tambahnya.

Pinky berpendapat bahwa rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi selayaknya menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk melihat kekerasan seksual dari berbagai perspektif. Ia menyebutkan pemerintah memiliki andil yang besar sebagai penanggung jawab proses penanganan kasus kekerasan seksual.

“Saya pun sangat menyayangkan polemik yang tak kunjung usai mengenai RUU PKS, yang mana undang-undang tersebut menjadi sangat penting untuk mendukung proses penanganan kasus kekerasan seksual,” pungkasnya. (*)

Penulis: Rissa Ayu F

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).