Dokter RS UNAIR: Gratifikasi Rujukan Antara Ada dan Tiada

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Suasana seri diskusi mengenai Kajian Gratifikasi dalam Pelayanan Kesehatan yang dilaksanakan di Gedung C, Sekretariat Bersama Pusat Studi FH UNAIR Kampus B pada 21 Januari 2020 (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Pusat Kajian Hukum Kesehatan dan Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan sebuah seri diskusi bersama Pusat Keselamatan Pasien yang bertajuk Jaminan Sosial, Keselamatan Pasien, dan Hak Asasi Manusia. Seri diskusi ini dilaksanakan di Gedung C, Sekretariat Bersama Pusat Studi FH UNAIR Kampus B.

Selasa (21/1/2020) dilaksanakan diskusi mengenai Kajian Gratifikasi dalam Pelayanan Kesehatan. Pada diskusi kali ini diisi oleh Muhammad Ardian Cahya Laksana., de., SpOG(K)., M.Kes, dokter ahli kadungan sekaligus manager pelayanan medis Rumah Sakit UNAIR. Dalam pemaparannya, dr. Ardian menyebutkan bahwa tingginya kematian ibu di Indonesia masih menjadi suatu masalah di Indonesia.

“Angka kematian ibu merupakan menjadi faktor utama dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di Jawa Timur sendiri, terdapat sebelas persen dari total kematian ibu di Indonesia, sehingga kualitas layanan kesehatan di Indonesia menjadi suatu masalah besar,” terang dr. Ardian.

Dalam penelitian kualitatifnya, dr. Ardian menyebutkan bahwa sebagian besar bidan senang merujuk pasien ke rumah sakit swasta, dikarenakan mempunyai kualitas pelayanan yang lebih baik daripada rumah sakit milik pemerintah. Hal tersebut sudah tidak asing lagi di Indonesia bahkan menurut survei yang dilakukan oleh dr. Ardian 97 persen bidan mengetahui akan hal tersebut.

“Dalam hal ini terdapat skenario antara bidan dengan pihak rumah sakit, yang kemudian pihak rumah sakit memberikan sejumlah fee kepada bidan yang telah merujuk pasien ke rumah sakitnya. Kemudian mengarahkan pasiennya untuk melahirkan secara caesar,” jelasnya.

Dengan adanya fee inilah yang dinamakan sebuah gratifikasi, yang kemudian dari gratifikasi ini akan memberikan suatu dampak yang besar dari segi kualitas pelayanan maupun segi keselamatan sang ibu dan menambah tingginya angka persalinan secara caesar. Bahkan praktek gratifikasi rujukan ini juga terdapat peluang untuk terjadinya pelanggaran etik dan hak pasien serta sumpah jabatan profesi.

Menanggapi hal tersebut, Taufik Rachman., S.H., LLM., Ph.D selaku Pusat Studi HAM dan Kajian Anti Korupsi FH UNAIR yang turut hadir dalam sesi diskusi menanggapi bahwa grafitisikasi sangatlah berbeda dengan suap, karena makna sesungguhnya dari gratifikasi adalah hadiah yangmana meeting of mind antara kedua belah pihak belu terjadi.

“Gratifikasi yang dilarang adalah penyerahan sesuatu kepada pegawai negeri yang kemudian tidak dilaporkan dan juga yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. Tetapi dalam hal ini yang terkena hanyalah pegawai swasta, sedangkan permasalahannya tentang gratifikasi rujukan yang melibatkan swasta,” ujar Taufik.

Maka dengan adanya hal tersebut, Taufik memberikan sebuah solusi mengenai harus adanya peraturan tentang private bribery dikarenakan dalam UU Tipikor belum diatur, hal tersebut  juga telah diterapkan di Amerika Serikat dan Hongkong, sehingga tidak ada batasan lagi hanya untuk pegawai negeri atau jabatan tertentu saja. (*)

Penulis: Febrian Tito Zakaria Muchtar

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).