Menilik Pembaharuan Perjanjian Hukum Perkawinan di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Beberapa waktu lalu terdapat perubahan baru dalam hukum perkawinan Indonesia. Perubahan yang dimaksud mengenai ketentuan perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dihasilkan dari keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 69 / PUUXIII / 2015. Sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan, yang disebut juga dengan prenuptial agreement, yang hanya dapat diubah jika disetujui oleh para pihak dan semua perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Kemudian pada Oktober 2015, Mahkamah Konstitusi Indonesia melakukan uji materi terhadap ketentuan ini yang dilakukan terkait dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Kepemilikan Tempat Tinggal Rumah Kediaman oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia yang menetapkan bahwa warga negara Indonesia yang telah kawin dengan warga negara asing tanpa sebelumnya membuat perjanjian perkawinan, tidak akan dapat memiliki hak atas tanah. Pasal 3 ayat 1 dari peraturan pemerintah menentukan bahwa warga negara Indonesia yang telah kawin dengan orang asing dapat memiliki hak atas tanah jika bukan harta bersama yang dibuktikan dengan pemisahan aset antara suami dan istri. Sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditafsirkan berbeda. Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement) sekarang dapat dibuat di Indonesia. Pembaharuan ini mungkin tidak hanya memiliki sisi positif, tetapi juga sisi negatif ketika para pihak membuat perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung dengan itikad buruk yang dapat merugikan pihak ketiga.

Perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai kontrak domestik yang berbeda dengan kontrak komersial, meskipun, persyaratan dasar untuk membuat kontrak juga berlaku di sini. Perjanjian perkawinan ini berkenaan dengan kepentingan domestik pasangan yang juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak ketiga. Melihat ketentuan dalam UU Perkawinan 1974, sebagaimana disebutkan sebelumnya, undang-undang ini memiliki pengaturan harta perkawinan yang berbeda dengan BW. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya diatur pemisahan harta, artinya harta milik masing-masing pihak yang diperoleh sebelum pernikahan maupun yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan pada dasarnya adalah milik suami atau istri secara pribadi dan di bawah pengawasan setiap suami atau istri yang bahkan memiliki hak penuh (beschikkingbevoegd) untuk melakukan tindakan hukum mengenai properti tersebut. Mengenai konsekuensi yuridis dari perjanjian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan 1974, ada dua implikasi, yaitu pemisahan harta bersama atau penyatuan harta bawaan suami dan istri.

Penerbitan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 / PUU-XIII / 2015 21 Maret 2016 terkait dengan permohonan warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran tanpa membuat perjanjian perkawinan. Kemudian, pasangan tersebut menemui kendalah saat berniat membeli rumah / apartemen dikarenakan peraturan hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia, yang menempatkan prinsip kebangsaan sebagai prioritas, mereka tidak diizinkan memiliki kepemilikan tanah di Indonesia. Keputusan ini berlaku dan mengikat secara hukum.

Berdasarkan Putusan Nomor Mahkamah Konstitusi 69 / PUU-XIII / 2015 yang menyebutkan bahwa “perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali sebaliknya disediakan dalam Perjanjian Perkawinan “. Terdapat kebebasan berkontrak bagi para pihak yang diberikan kebebasan menentukan substansi perjanjian dan waktu kapan perjanjian perkawinan dibuat.

Dalam hukum perkawinan Indonesia, terdapat perubahan mengenai ketentuan tentang perjanjian perkawinan dengan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 / PUU-XIII / 2015. Sebelumnya, setelah perkawinan berlangsung suami istri tidak diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan. Saat ini dimungkinkan untuk membuat postnuptial agreement setelah perkawinan. Meskipun judicial review terhadap ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 ini diawali dari permasalahan yang dihadapi oleh pasangan perkawinan campuran, namun akibatnya dengan adanya Putusan Mahkaham Konstitusi tersebut, pasangan yang bukan dalam perkawinan campuran juga dapat membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung (posnuptial agreement).

Hal ini menghasilkan konsekuensi hukum, bahwa pemisahan properti matrimonial dapat dilakukan setelah perkawinan; dengan demikian, ini dapat merugikan pihak ketiga jika perjanjian perkawinan dibuat dengan tidak adanya itikad baik. Itikad baik para pihak dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang demikian harus diutamakan. Ketentuan lebih lanjut tentang implementasi ketentuan-ketentuan tentang perjanjian perkawinan, diperlukan untuk memberikan aturan yang lebih jelas. Ini penting untuk memberikan perlindungan hukum kepada pasangan dan juga pihak ketiga.

Penulis: Erni Agustin, S.H., LL.M

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.atlantis-press.com/proceedings/iclgg-17/25902321

Agus Yudha Hernoko, Erni Agustin, Faizal Kurniawan, Mahendri Putri. 2017. Nuptial Agreement in Indonesi: A New Change in Indonesian Marriage Law. Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 131 International Conference on Law, Governance and Globalization 2017 (ICLGG 2017) Atlantis Press.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).