Bibir Sumbing: Tantangan dan Harapan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi bibir sumbing

Kondisi celah bibir dan langit-langit, yang disebut juga sebagai bibir sumbing merupakan jenis gangguan pertumbuhkembangan bawaan yang paling sering terjadi. Celah tersebut dapat melibatkan bibir, tulang penyangga gigi, hingga langit-langit. Bibir sumbing paling sering terjadi pada keturunan Asia, dibandingkan ras Kaukasoid dan Negroid.

Masalah yang timbul akibat kondisi bibir sumbing selain gangguan estetik, juga gangguan fungsional, dan sosial. Gangguan bicara, pengunyahan, gangguan pendengaran, dan keadaan geligi yang tidak ideal seringkali juga ditemukan pada penderita bibir sumbing. Oleh karena itu, penderita bibir sumbing memerlukan terapi yang komprehensif dari ahli bedah, kesehatan anak, dokter gigi, dan tim penunjang lainnya. Terapi tersebut dilaksanakan secara bertahap dari usia bayi hingga dewasa.

Bibir sumbing terjadi akibat proses penyatuan tulang dan jaringan lunak janin yang tidak sempurna sekitar minggu ke-7 hingga ke-12 saat masa kehamilan. Kegagalan proses tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari genetik, hingga pengaruh lingkungan yang diterima oleh ibu di masa awal kehamilan. Bibir sumbing diketahui tidak hanya dipengaruhi oleh satu gen tertentu, melainkan oleh berbagai gen yang saling bersinergi dalam proses pembentukan struktur wajah.

Berbagai upaya penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kandidat gen dan faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian bibir sumbing. Kandidat tersebut dapat dikembangkan menjadi penanda (biomarker) keparahan maupun resiko kejadian bibir sumbing di suatu keluarga.

Human Leukocyte Antigen (HLA) telah banyak diteliti sebagai kandidat penanda yang potensial terhadap penyakit tertentu, termasuk bibir sumbing. HLA dilaporkan berperan pada proses infeksi sebagai perantara mikroorganisme penyebab infeksi kepada system imunitas tubuh. HLA juga dilaporkan berperan pada penyakit non-infeksi, antara lain gangguan perkembangan saraf, autis, serta bibir sumbing.

Namun, pengaruh HLA terhadap kejadian CLP masih belum dipahami secara luas, walaupun kadar HLA-C dan HLA-DR pada kelompok penderita bibir sumbing ditemukan lebih rendah daripada kelompok orang yang tidak menderita bibir sumbing.

Pada tingkat hewan coba, ditemukan hubungan antara kadar HLA dengan kejadian bibir sumbing pada hewan coba tikus yang diberi terapi kortikosteroid jangka panjang. Induk tikus yang mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang memiliki resiko memiliki keturunan dengan kondisi bibir sumbing yang lebih tinggi dibandingkan kelompok induk tikus yang tidak mendapatkan terapi kortikosteroid jangka panjang.

Analisis molekuler untuk mengungkap penyebab kejadian bibir sumbing secara masih sangat jarang dilakukan di Indonesia, karena faktor sosial dan geografis sehingga kesempatan eksplorasi masih terbuka luas. Hasil tersebut diharapkan dapat mengungkap proses kejadian bibir sumbing dan menjadi informasi kepada kelompok populasi dengan resiko bibir sumbing yang tinggi. (*)

Penulis : Alida

Informasi detail dari tulisan ilmiah ini dapat dilihat pada tulisan kami di,

http://revista.uepb.edu.br/index.php/pboci/article/view/5096

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).