Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Infeksi Skabies

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh alodokter.com

Skabies merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh S. scabiei yang berkembang biak pada permukaan kulit. Sarcoptes scabiei mengakibatkan keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV (Walton, 2010). Pada reaksi tipe I, alergen tungau yang masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC) bersama MHC kelas II, kemudian APC akan menginduksi aktivasi limfosit T. Limfosit T kemudian mengaktivasi Sel Th2 untuk menghasilkan IL-4 dan IL-10 yang akan menginduksi limfosit B untuk menghasilkan IgE. IgE yang terikat di permukaan sel mast dan akan menyebabkan sel mast teraktivasi. Sel mast memiliki reseptor yang disebut FcεR1, yang speseifik terhadap IgE dan secara aktif berikatan dengan IgE. Ikatan IgE dengan reseptor FcεR1 akan mengaktivasi sinyal transduksi ke sitoplasma sel mast. Sinyal ini akan menyebabkan sel mast berdegranulasi dan mengeluarkan mediator kimia. Salah satunya adalah histamin yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan diikuti dengan ekstravasasi cairan. Mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast adalah sitokin (IL-5, IL-8, IL-4, Tumor Necrosis Factor) yang menyebabkan infiltrasi sel-sel inflamasi berupa eosinofil, neutrofil, dan basofil pada jaringan kulit. Selain itu, sel mast juga melepas faktor kemotaktik seperti Eosinophil Chemotactic Factor (ECF) dan Neutrophil Chemotactic Factor (NCF) yang ikut menyebabkan terjadinya infitrasi eosinofil dan neutrofil (Buelow et al., 2015). Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat reaksi hipersensitivitas tipe satu yaitu terbentuknya pruritus, papula, vesikula pada permukaan kulit kelinci serta kerusakan jaringan kulit yang ditimbulkan akibat infeksi skabies belum signifikan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2018).

Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi 3-6 minggu setelah infeksi primer dari S. scabiei. Mekanisme terjadinya kerusakan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV dimediasi oleh sel T CD4+ dan sel T CD8+ serta berjalan secara kronis akibat terjadinya infeksi yang berulang. Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel tipe ini disebabkan oleh sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Sel T CD4+ dan pembunuhan sel oleh sel T CD8+. Sel T CD8+ akan mengenal antigen yang dipresentasikan oleh APC dan molekul MHC kelas I. Sedangkan, sel T CD4+ mengenal antigen yang dipresentasikan APC dan molekul MHC kelas II.  Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel T CD4+ diinduksi oleh lingkungan dan antigen. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit inflamasi kronis, termasuk penyakit autoimun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2018).

Sel T CD4+ yang berasal dari diferensiasi sel T naive mengenali peptida yang ditampilkan oleh sel dendritik dan mensekresi IL-2, yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan autokrin untuk merangsang proliferasi sel T yang responsif terhadap antigen. Diferensiasi selanjutnya dari sel T yang distimulasi antigen menjadi sel Th1 atau Th17 diatur oleh sitokin yang dihasilkan oleh APC pada saat aktivasi sel T. Antigen yang telah di tangkap oleh APC akan mengaktifkan beberapa sitokin seperti IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset Th1. Aktivasi IL-1, IL-6, IL-23 akan menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset Th17. Th1 akan mengaktifkan IFN-γ dan IL-2, sedangkan Th17 akan mengaktifkan TGF-β. TGF-β dan IL-2 menginduksi Tregs, namun disisi lain Tregs juga memproduksi IL-10 dan TGF-β yang kemungkinan berperan pada delayed inflammatory respon pada skabies dan menekan peradangan. Disamping itu interleukin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 mempunyai efek yang berlawanan pada sel Th. IFN-γ yang diproduksi oleh Th1 akan menghambat proliferasi sel Th2, sebaliknya IL-10 yang dikeluarkan oleh Th2 akan menghambat produksi IL-2 dan IFN γ oleh Th1. Aktivasi beberapa sitokin dan sel T tersebut akan merekrut neutrofil, monosit dan makrofag untuk bereaksi melawan antigen, dengan demikian akan mempromosikan reaksi peradangan (Rifa’i, 2013; Bhat et al., 2017).

Setelah, terjadi paparan yang berulang terhadap suatu antigen, sel Th1 mengeluarkan sitokin terutama IFN-γ dan IL-2, yang bertanggung jawab pada manifestasi hipersensitivitas tipe delayed. IFN-γ dan IL-2 akan mengaktifkan makrofag untuk fagositosis terhadap suatu antigen sehingga aktivitas tersebut akan mengekspresikan lebih banyak molekul MHC kelas II. Aktivasi IFN-γ dan IL-2 yang dominan akan mensekresikan TNF, IL-1, kemokin, serta akan mengaktifkan lebih banyak sitokin IL-12. Sehingga, hal ini akan memperkuat respons Th1. Apabila aktivitas tersebut terus berlanjut dan berulang maka akan semakin mempromosikan reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan semakin parah. Sel Th1 dan Th17 keduanya berkontribusi pada penyakit organ spesifik dimana inflamasi merupakan aspek yang paling menonjol. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 didominasi oleh makrofag. Sedangkan, Reaksi inflamasi yang berhubungan sel Th17 didominasi oleh neutrofil (Jyonouchi, 2015).

Oleh : Amirotul Azhimah (Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Penyakit dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga )

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).