Menguak Kasus Hipersensitivitas Obat di RSUD dr Soetomo

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Hipersensitivitas obat didefinisikan sebagai respons yang tidak diinginkan terhadap pengobatan, yang berbahaya dan tidak diinginkan, dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia baik untuk profilaksis, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologis. Hipersensitivitas obat sering terjadi dan dapat menyebabkan kondisi darurat hingga kematian. Insiden rawat inap terkait hipersensitivitas obat biasanya telah dinilai di rumah sakit.

Profil Pasien Hipersensitivitas Obat di RSUD dr. Soetomo

Kasus-kasus hipersensitivitas obat meningkat setiap tahun di berbagai negara (Thong & Tan 2011). Data meta-analisis memperkirakan bahwa rawat inap yang terkait dengan hipersensitivitas obat antara 2,4 persen dan 6,4 persen dari semua penerimaan rumah sakit di negara-negara Barat (Beijer & de Blaey 2002). Banyak dari mereka memerlukan perawatan darurat atau intensif dan jika tidak ditangani dengan benar dapat berakibat fatal seperti dalam kasus anafilaksis atau sindrom Stevens-Johnson (SJS) (Simons et al 2015).

Reaksi hipersensitivitas obat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tipe A dapat diprediksi dan tipe B tidak dapat diprediksi. Reaksi alergi atau hipersensitivitas obat dapat terjadi melalui beberapa mekanisme dan juga dapat muncul dalam beberapa bentuk kelainan pada beberapa organ target dan setiap jenis kelainan memerlukan pengobatannya sendiri (Solensky & Khan 2010, Riedl & Casillas 2003).

Kami berargumentasi bahwa data terintegrasi pada berbagai jenis hipersensitivitas obat di rumah sakit sangat penting untuk digunakan sebagai pertimbangan bagi manajemen rumah sakit untuk meningkatkan kualitas layanan medis, untuk menyusun daftar kebutuhan obat, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan sebagainya.

Penelitian yang kami lakukan ini adalah penelitian retrospektif deskriptif pada catatan medis pasien hipersensitivitas obat yang dirawat di semua departemen Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, Surabaya selama periode Januari hingga Juni 2016.

Alergi obat atau hipersensitivitas didiagnosis berdasar tanda dan gejala klinis dari pasien. Data dari pemeriksaan fisik sebagian besar cukup untuk menegakkan diagnosis klinis. Beberapa diagnosis klinis memerlukan pemeriksaan laboratorium pendukung tambahan seperti jumlah eosinofil dan tingkat enzim hati untuk DRESS, atau biopsi kulit.

Ada 16 pasien yang didiagnosis memiliki hipersensitivitas obat selama masa studi. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan (56,25%), berusia antara 46-55 tahun (25%). Reaksi hipersensitivitas obat tipe IV lebih umum daripada reaksi tipe I. Sebagian besar pasien (87,5%) memiliki hasil yang baik (pulih atau membaik) setelah dirawat di rumah sakit.

Hasil kami kurang lebih mirip dengan temuan lain di Indonesia. Darmani et al (2014) menyatakan bahwa hanya 7 pasien (20%) yang memiliki hipersensitivitas tipe I (urtikaria) dari total 35 pasien dengan alergi obat (Darmani et al 2016). Temuan ini mirip dengan penelitian kami bahwa tipe I kurang dari hipersensitivitas tipe IV.

Darmani et al (2016) juga melaporkan bahwa perbandingan jumlah antara perempuan dan laki-laki adalah 60% hingga 40%. Dalam penelitian ini, kasus wanita juga lebih sering (56,25%) dibandingkan dengan pria (43,75%). Temuan ini dapat dijelaskan sebagian oleh aktivitas sitokrom P3A4 berbeda yang mempengaruhi metabolisme dan sintesis metabolit obat dan karenanya aksi obat dalam tubuh (Anderson 2008).

Dalam studi Darmani et al (2016) kelompok usia yang paling umum adalah kelompok 41-50 tahun (25,7%). Agak mirip dengan mereka, penelitian kami juga menemukan bahwa hipersensitivitas obat paling lazim pada kelompok usia 46-55 tahun (25%). Dapat dipahami bahwa semakin tua seseorang, semakin dia akan menderita penyakit apa pun, terutama penyakit degeneratif. Orang yang lebih tua biasanya mengkonsumsi lebih banyak obat untuk pengobatan mereka dibandingkan dengan orang muda, maka mereka akan memiliki kemungkinan lebih tinggi akan hipersensitivitas obat (Mihardja & Soetrisno 2012).

Dalam penelitian kami, dari 16 pasien, 5 pulih sementara 9 lainnya menjadi lebih baik, menunjukkan hasil akhir yang baik dari penelitian observasional ini. Tidak ada kasus kematian yang dicatat selama periode penelitian kami. Mengingat periode pengamatan kami yang singkat, kami perlu mengumpulkan lebih banyak data untuk melihat hasil dari pasien hipersensitivitas obat yang lebih parah.

Penulis: Dr. Gatot Soegiarto, dr., Sp.PD, K-AI, FINASIM

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/FMI/

Nur Moya Isyroqiyyah, Gatot Soegiarto, and Yuani Setiawati (2019). Profile of Drug Hypersensitivity Patients Hospitalized in Dr. Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia: Preliminary Data of 6 Months Observation. Fol Med Indones, 55(1): 54-57; http://dx.doi.org/10.20473/fmi.v55i1.12558

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).