Diabetes Mellitus sebagai Perantara Infeksi Tuberculosis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh HKKI

Indonesia saat ini merupakan negara dengan jumlah penderita tuberculosis (TB) terbesar kedua di dunia. Tuberkulosis dikarenakan oleh adanya infeksi bakteri Mycobacterum tuberculosis yang menyerang paru-paru. Bakteri ini digolongakan sebagai bakteri yang memiliki pertumbuhan lambat tetapi juga dikenal sebagai agen infeksi tunggal yang termasuk ke dalam sepuluh penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada 2019, diperkirakan sekitar 245 per 100.000 terinfeksi TB. Indonesia menempati peringkat ketiga dalam beban TB tertinggi, dan kasus TB di Indonesia tidak pernah berkurang karena banyak kasus tidak terdeteksi.

Faktor-faktor yang ditengarai dapat meningkatkan resiko TBC adalah merokok dan kurangnya ketidakpatuhan pasien dengan TB untuk meminum obat. Sedangkan prevalensi infeksi TB pada laki-laki adalah 3 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih mudah terpapar pada factor-faktor penyebab rentannya individu terhadap infeksi TB. Jika melihat pada usia, semakin bertambah usia, prevalensi semakin tinggi untuk kemungkinan adanya re-aktivasi TB. Durasi paparan TBC juga diamati meningkat lebih lama pada pasien seiring bertambahnya usia. Selain itu salah satu factor lainnya adalah kerentanan sistem imun tubuh. Pada pasien dengan sistem imun tubuh lemah seperti pengidap HIV pada resiko terpapar oleh infeksi TB semakin meningkat dibandingkan oleh individu dengan sistem imun yang tinggi. 

Pada saat yang sama, Indonesia juga memiliki beban diabetes yang tinggi. Menurut Departemen Kesehatan, prevalensi diabetes pada orang dewasa (2013) adalah sekitar 6,9%. Angka-angka ini berkurang menjadi 6,3% pada 2017 dan meningkat pada tahun 2018 menjadi 10.9% dari populasi penduduk Indonesia. Indonesia telah berada di peringkat keempat untuk prevalensi diabetes di dunia. Sehingga bisa dikatakan Indonesia memiliki beban tinggi diabetes dan merupakan endemis TB. Bahkan WHO menggolongkan Indonesia ke peringkat dua negara dengan beban masalah TB terbanyak. Hubungan dua arah antara TB dan DM adalah salah satu keprihatinan signifikan di seluruh dunia dengan korelasi antara diabetes dan tuberkulosis yang semakin diakui dan dikelola.

Diabetes mellitus (DM) dikategorikan sebagai penyakit metabolik yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya; dengan demikian, itu akan menyebabkan kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia). Penignkatan DM ini dapat diakibatkan oleh perubahan pola makan yang dapat meningkatkan obesitas. Seain pola hidup tidak sehat, factor keturunan juga dapat meningkatkan resiko diabetes. Keluarga dengan riwayat diabetes maka peluang penderita untuk menderita diabetes baik tipe 1 maupun tipe 2 jua meningkat. Sebenarnya DM ini dapat dicegah dengan menerapkan pola makan sehat untuk menjaga kadar gula darah dengan mengkonsumsi kandungan serat tinggi, rendah lemak dan rendah kalori. Kemudian dengan rutin olah raga akan baik untuk menstabilkan gula darah. Selain itu dengan rutin memeriksa gula darah dapat ertujuan untuk memantau kadar gula kita. 

Studi terbaru termasuk stud yang kami lakukan menunjukkan adanya peningkatan gangguan toleransi gula ini terhadap peningkatan prevalensi infeksi TB. Pada pasien DM efek hiperglikemia akan memudahkan pasien rentan terhadap infeksi.Pasien dengan diabetes menunjukkan gangguan sistem kekebalan tubuh bawaan yang disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah. Diabetes dapat mengganggu aktivasi dan fungsi makrofag, monosit, limfosit, mikroangiopati paru, disfungsi ginjal, dan defisiensi vitamin. Pasien dengan kontrol hiperglikemia yang buruk lebih rentan terhadap infeksi TB dibandingkan dengan pasien dengan kontrol hiperglikemia yang baik. 

Pada studi yang kami lakukan prevalensi TB pada pasien DM adalah 42% dengan usia penderita rata-rata usia 55 (55 ± 9.52 tahun). Metode deteksi TB dilakukan dengan metode pengecatan bakteri tahan asam serta metode otomatis. Hasil studi juga menunjukkan pada pasien dengan histori DM dan non-DM tidak mempengaruhi perbedaan sensitivitas bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap obat rifampicin.

Studi yang dilakukan menunjukkan perlunya screening awal untuk menentukan prevalensi TB pada pasien dengan DM. Sehingga informasi ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan factor DM pada pengobatan TB. Pasien dengan DM juga diharapkan dapat mengkontrol level kadar glukosa darahnya sehingga dapat mencegah prevalensi infeksi TB.

Oleh Dwi Wahyu Indriati, Ph.D

Informasi detail dari artikel ini dapat dibaca lebih lengkap pada publikasi ilmiah berikut : 
Putri, E.I.S; Indriati, D.W.; Wahyunitisari, M.R. 2020. The Prevalence of Diabetes Mellitus among Hospitalized Tuberculosis Positive Cases in Hajj Hospital Surabaya. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences. 16(1): 235-239
https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2020011612194635_MJMHS_0388.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).