Prof Nasih: Guru Besar UNAIR Harus Menjadi Pelopor Perkembangan Inovasi di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS –  Rektor Universitas Airlangga kembali mengukuhkan empat guru besar baru pada Rabu (18/12/2019) di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen Kampus C. Pengukuhan itu berlangsung khidmat dengan dihadiri oleh para guru besar, sivitas akademika, para tamu undangan dan kerabat guru besar yang dikukuhkan.

Empat Guru besar itu adalah Prof. Dr. Intan Nirwana, drg., M.Kes, guru besar bidang Ilmu Material Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) ke-23; Prof. Dr. Abdurachman, dr., M.Kes., PA(K), guru besar bidang Ilmu Anatomi dan Histologi, Fakultas Kedokteran (FK) ke-112; Prof. Dr. A. Retno Pudji Rahayu, drg., M.Kes, guru besar bidang Ilmu Patologi Mulut dan Makslofasial, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) ke-24; dan Prof. Dr. David Buntoro Kamadjaja, drg., MDS., Sp.BM(K), guru besar bidang Ilmu Patologi Mulut dan Makslofasial, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) ke-25.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. Moh. Nasih SE., MT., Ak., selaku Rektor UNAIR mengatakan bahwa seorang guru besar harus memiliki visi dan karakter tertentu. Nilai dari seorang gubes adalah kontribusi dalam menentukan bangsa dan negara serta mewarnai peradaban dunia. Para guru besar itu diharapkan dapat terus melakukan inovasi dalam melihat dan menyelesaikan permasalahan dan fenomena yang ada.

“Sikap inovatif ini dimulai dari kekritisan cara berpikir dalam melihat fenomena dan kondisi yg ada. Guru besar UNAIR harus menjadi pelopor, tidak hanya menjadi pengekor,” paparnya.

Selain itu, Prof Nasih juga berharap bahwa para gubes dapat terus berinovasi dengan merespons secara cepat tuntunan zaman. Riset-riset yang sudah ditemukan diharap dapat dikembangkan menjadi suatu SOP atau produk yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Hal itu bertujuan untuk memberikan sumbangsih produk atau hasil penelitian untuk meningkatkan fasilitas kesehatan dengan harga yang lebih terjangkau.

“Kita semua paham bahwa indonesia masih mempunyai berbagai macam persoalan terkait kesehatan. Untuk itu, inovasi-inovasi unggul harus dilahirkan dari UNAIR. Adanya artificial intelligent, diharap dapat dimanfaatkan dalam mendeteksi penyakit sejak dini karena sejatinya lebih baik mencegah dari pada mengobati,” tambahnya.

Tangani Karies Gigi Melalui Herbal Delima

Dalam pidatonya, Prof. Dr. Intan Nirwana, drg., M.Kes memaparkan tentang penanganan karies gigi melalui herbal delima. Menurutnya, karies gigi diakibatkan oleh empat faktor utama, yakni makanan, bakteri, waktu hingga gigi itu sendiri. Sementara radang atau inflamasi jaringan pulpa gigi disebabkan oleh trauma mekanik yang disebut sebagai pulpitis.

“Delima secara tradisional telah lama dikenal memiliki aktivitas obat. Aktivitas tersebut di antaranya anti-inflamasi, anti-oksidan, anti-bakteri, anti-kanker, anti-parasit, hingga anti-fungsi. Dalam penelitian ini sendiri saya menggunakan delima terstandar empat puluh persen allegic acid.” tutur profesor yang menamatkan S1 hingga S3-nya di Fakultas Kedokteran Gigi UNAIR tersebut.

Dari penelitian tersebut Prof. Intan menemukan bahwa regulasi inflamasi yang baik dapat ditandai dengan meningkatnya ekspresi Transforming Growth Factor-βeta 1, rendahnya ekspresi MMP-1 dan tingginya ekspresi kolagen tipe 1. Karena TGFβ1 sendiri berperan signifikan dalam meregulasi MMP-1 dan TIMP-1 agar degradasi pada kolega tipe 1 tidak berlebihan.

“Ekspresi kolagen yang meningkat inilah yang kemudian mampu mempercepat penyembuhan pulpa,” tuturnya.

Ujaran Positif Miliki Dampak Besar Bagi Kesehatan Tubuh

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Dr. Abdurachman dr., M.Kes., PA(K), memaparkan bahwa sebuah kalimat ucapan memiliki peran signifikan dalam menjaga kondisi kesehatan. Ia menuturkan, kalimat tepat yang dimaksud adalah tepat pada kata-kata; subjek; objek serta dosisnya. “Tentunya juga harus tepat pada situasi dan bagaimana penyampaiannya,” imbuhnya.

Terkait hal itu, seorang peneliti internasional Masaru Emoto dari Jepang melakukan beberapa eksperimen. Hasilnya, diketahui bahwa air yang diberi kata terimakasih kemudian dibekukan didapati gambaran kristal yang terbentuk sempurna tersusun komplek dan indah. Sebaliknya, gambaran kristal pada es yang diberi kata “kamu bodoh” menjadi rusak bahkan tidak ada kristal yang terbentuk.

Penelitian itu juga dilakukan terhadap nasi. Meskipun benda padat, ternyata hasilnya tidak jauh berbeda. Nasi menjadi tidak mudah busuk dan tidak mudah basi. Upaya itu dapat menjadi solusi sehat yang murah dan mudah dilakukan.

“Kalau dengan mengubah kebiasaan berkata buruk menjadi berkata yang baik dan tepat mudah dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, saya kira upaya ini sangat potensial,” tuturnya.

“Sekecil apa pun perubahan yang kita lakukan, jika kita lakukan secara serentak maka Indonesia pasti segera terlepas dari masalah kesehatan,” ungkapnya.

Rekayasa Jaringan

Dalam pidatonya, Prof. Dr. David Buntoro Kamadjaja drg., MDS., Sp.BM(K) menguraikan risetnya mengenai rekayasa jaringan untuk rekontruksi mandibula: tantangan dan potensinya yang merupakan metode alternatif untuk mengatasi keterbatasan autogenous bone graft.

Metode autogenous bone graft (graf yang diambil dari tubuh pasien sendiri, misalnya tulang panggul atau rusuk) merupakan metode yang sering dilakukan untuk menghadapi masalah tumor pada penderita. Metode tersebut, dalam kasus tumor mandibula (tulang rahang bawah) dilakukan untuk memperbaiki fungsi kunyah, bicara dan kosmetik wajah pada penderita agar dapat dipertahankan. Hanya saja, metode tersebut memiliki ketersediaan yang terbatas dan berisiko menyebabkan komplikasi pada daerah donor seperti infeksi, cedera saraf sensorik atau motorik.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. David menuturkan bahwa, terdapat tiga komponen utama rekayasa jaringan yaitu sel, scaffolds, dan sinyal biologis, ketiganya disebut dengan triad rekayasa jaringan. Menurut penelitian, lanjutnya,  scaffolds untuk rekayasa jaringan biasanya digunakan dari bahan organik maupun anorganik.

“Penelitian telah membuktikan bahwa scaffolds yang baik untuk rekayasa jaringan adalah kombinasi bahan organic dan anorganik,” ungkap dosen Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) tersebut.

Deteksi Dini Manifestasi HIV/AIDS

Dalam orasinya, Prof. Dr. A. Retno Pudji Rahayu, drg., M. Kes membuat sebuah terobosan dalam deteksi dini HIV/AIDS dengan memanfaatkan teknologi terbaru yaitu Artificial Intelligence (AI). “Terdapat beberapa penyakit yang menyertai HIV/AIDS, salah satunya adalah Candidiasis yang hampir 90% menyertai HIV/AIDS,” tutur Prof. Retno.

Candidiasis salah satunya disebabkan karena adanya infeksi oleh jamur Candida sp. Salah satu jamur yang paling patogen menginfeksi rongga mulut adalah C.albicans. Infeksi oleh Jamur C.albicans  merupakan manifestasi terbanyak di rongga mulut penderita HIV/AIDS dan menjadi sebuah tanda penting dari progesivitas penyakit.

“Kondisi tersebut sangat mengganggu para penderita HIV/AIDS, terutama dalam masuknya nutrisi ke dalam tubuh melalui mulut,” ujar Prof. Retno.

Diharapkan, teknologi AI dapat meningkatkan kekakuratan diagnosis, sehingga pasien bisa mendapatkan terapi yang tepat. Sayangnya, aplikasi teknologi AI dalam bidang Patologi Mulut dan Maksilofasial masih belum banyak diterapkan secara luas. Hal itu menjadi tugas tersendiri bagi para sejawat untuk terus melakukan sosialisasi dan pengembangan teknologi.

“Dengan mengembangkan teknologi AI dalam bidang kesehatan, maka kita sudah ikut berpartisipasi bersama pemerintah dalam memberi kehidupan yang layak dan harapan hidup yang lebih baik untuk penderita HIV/AIDS,” tutup Prof.Retno. (*)

Penulis: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).