Paska Rekonsiliasi: Melompati Jebakan Politik Kartel

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Sinar Harapan

Bagi sebagian kalangan, kunjungan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke kediaman Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri  (24/07) adalah bagian dari episode politik rekonsiliasi, setelah sekitar dua minggu sebelumnya berlangsung pertemuan antara Jokowi dan Prabowo di Mass Rapid Transport (MRT) Lebak Bulus, Jakarta. Intensitas pertemuan dan framing bahwa rekonsiliasi politik inheren dengan penjajakan kekuasaan (sharing of power), maka logika sebagian publik lainnya menemukan linearitas pada upaya keduanya untuk berkoalisi. Apalagi beberapa partai politik peserta eks koalisi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi (BPN) sudah mengirim sinyal untuk mendukung pemerintahan terpilih Jokowi-Ma’aruf, sebut saja Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional.

Jika memang benar sinyalmen tersebut, sehingga akan mempengaruhi konfigurasi kekuatan politik di pemerintahan, dan sebaliknya, menyisahkan satu partai yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sampai tulisan ini terkonstruk masih konsisten di luar pemerintahan (oposisi), maka akan terjadi sistem politik check but unbalancing. 

Ada dua persoalan akut menyangkut fenomena politik di atas. Yaitu paradigma politik  masih berkutat pada politik kekuasaan dan kekuasaan adalah eksekutif. Variabel selanjutnya, kalkulasi politik partai adalah seberapa besar jabatan eksekutif atau minimal seberapa dekat dengan istana. Maka, koalisi hanya dimaknai sebagai jembatan menuju istana. Diujungnya, bangunan koalisi harus diruntuhkan jika tak menuju ke istana serta guna memberikan berbagai spekulasi politik kontemporer. Politik itu dinamis. Asumsi ini yang seringkali menjadi alibi para elit yang sesungguhnya menyesatkan publik, mengabsurdkan tujuan politik sebenarnya.  

Kedua, disorientasi partai politik. Anomali demokrasi kita, dimana sejatinya di saat inilah manifestasi kebebasan ide dan narasi politik yang beragam, sebagai wacana politik alternatif, realitasnya sebanyak jumlah partai politik yang ada tidak memberikan gagasan-gagasan dan orientasi politik yang saling menegasikan. Saya masih menduga, karena tabu dengan perbedaan pandangan politik secara tajam, maka masih menjadi bagian dari penyakit sindrom orde baru, dimana terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif yang membangun secara otoriter konsepsi politik keseragaman atas nama stabilitas dan pembangunan. 

Ketidakmampuan partai politik untuk menampilkan perbedaan ide politik yang mendasar, yang berimbas pada absennya gagasan politik alternatif, yang seharunya menjadi modal dasar eksistensi sebuah partai politik, selain menyebabkan bangunan koalisi begitu rapuh, membuat publik tidak memperoleh pendidikan politik karena menjadi sulit mengenal dan mengidentifikasi secara permanen, yang pada titik klimaks menimbulkan apolitis. 

Gagasan politik kerakyataan yang dipekikkan berulang-ulang oleh kubu Prabowo-Sandi (Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat) sudah seharusnya menjadi antitesa dengan kebijakan politik liberalisme-kapitalisme, yang artinya berorientasi pada ekonomi investasi modal dan korporasi.  Di sinilah kritik tajam kita sematkan pada pertemuan di atas, jika kontestasi ide selama pemilu yang begitu mengeras justru menguap begitu saja karena transaksi kekuasaan yang pragmatis, Jebakan politik kartel jelas di depan mata dan secara umum berkelindan dengan korupsi politik,

Kartel politik merupakan sistem kerjasama yang cenderung mewujudkan kemapanan sistem kepartaian dalam politik di Indonesia. Namun, sistem kartel ini lebih banyak bekerjasama untuk merangkul partai politik yang berlainan ideologi untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen, bukan untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, sistem kartel mewujudkan sebuah pemerintahan yang tidak sehat bagi masyarakat, terutama pada sistem negara demokrasi.

Tujuan utama perjuangan partai kartel bukanlah kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingan kelompoknya. Kepentingan masyarakat seringkali terpinggirkan, dikeranakan ketergantungan partai kartel yang semakin besar kepada negara. Wujudnya partai kartel ditandai dengan bergabungnya partai-partai politik dalam satu koalisi besar partai pemerintah yang mendukung dan menjaga jalannya pemerintahan yang terpilih hingga akhir

Maka, salah satu solusi konkrit untuk melompat dari jebakan politik kartel perlu mengambil langkah progresif. Pertama, kita harus merevolusi paradigama politik selama ini. Politik itu perjuangan ide, nilai dan jalan pikiran (ideology) yang tegas sehingga nantinya menjadi laku politik (policy) di berbagai ruang dan dimensi manapun sehingga ada koherensi antara integritas, kompetensi dan etik yang konsisten dan bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Ini akan menyasar pada setiap pelaku politik (politisi) baik di strata elit sampai anggota, partai dan non-partai, eksekutif dan legislatif, pusat dan daerah.  Sehingga membuahkan pendidikan politik pada tawaran-tawaran keberagaman dan keberwarnaan ide dan tujuan politik. Dialektika gagasan akan menimbulkan sebuah sintesa-sintesa yang menggugah nalar publik. Maka, kontestasi politik (pemilu) adalah kontestasi ide, bukan warna baju, bukan materi. 

Kedua, karena sistem kepartaian di Indonesia adalah multipartai, maka koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Koalisi yang terbangun bukan lagi semata karena kalkulasi suara dan kursi, tapi juga soal basis konstitusi. Sebagai kelanjutan dari perjuangan ide dan nilai politik, maka koalisi adalah konsolidasi dari ide-ide tersebut. Selain untuk memetakan kekuatan politik, juga sebagai guidance bagi publik di dalam menelaah ide politik yang ditawarkan. Dengan begitu, pembangunan politik koalisi antar partai seyogyanya tidak selesai ketika pemilu telah usai. Koalisi yang terbangun atas dasar kesamaan ide dan rancangan kebijakan politik ke depan menjadi sangat fundamental tatkala pemilu telah melahirkan peta kekuasaan politik. Inilah konsepsi koalisi yang harus terbangun dan terinstitusionalisasi secara matang.

Ketiga, membangun peradaban politik yang simetris. Sistem politik demokrasi mengharuskan adanya mekanisme check and balance, yang secara suprastruktur fungsi ini dipegang oleh legislatif. Maka komposisi parlemen yang berimbang menjadi prasayarat untuk bisa melaksanakan fungsi tersebut. Secara infrastruktur, demokrasi juga membutuhkan peran aktif masyarakat sipil (NGO), media massa, parpol dan swasta untuk mendukung secara kritis kebijakan-kebijakan pemerintah. Penguatan politik ide di basis-basis masyarakat akan semakin mengarahkan pada bangunan politik yang madani.

Kembali pada isu di depan, maka berkaca pada komposisi hasil suara pilpres 2019 yaitu 55,50 % bagi kubu Jokowi-Ma’aruf dan 44,50 % bagi kubu Prabowo-Sandi, seharusnya koalisi di kubu Prabowo-Sandi bisa menjadi alternative policy dengan mekanisme check and balance yang berimbang, dengan selisih keduanya di topang oleh elemen infrastruktur politik lainnya, seperti NGO, media massa dan swasta. Inilah bangunan sistem politik demokratis yang ideal. 

Penulis: Galang Geraldy, M.IP

Alumni FISIP UNAIR dan Dosen Ilmu Politik Univernsitas Wijaya Kusuma Surabaya

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).