Aneurisma Arteri Pulmonal, Silent Killer yang Berbahaya!

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh varikozbaki az

Aneurisma merupakan penggelembungan fokal pada seluruh 3 lapis dinding pembuluh darah arteri, yang dapat terjadi di seluruh pembuluh darah dalam tubuh, seperti di pembuluh aorta maupun otak. Namun pada kasus yang jarang, aneurisma juga dapat terjadi pada arteri pulmonal (pembuluh darah arteri yang membawa aliran darah dari jantung ke paru-paru)  Kasus aneurisma arteri pulmonal (AAP) ini merupakan kasus yang langka, sehingga informasi serta pengetahuan mengenai kasus ini masih terbatas. Pada artikel ini kami membahas mengenai gejala-gejala yang bisa muncul, faktor resiko, serta pilihan terapi yang dapat dilakukan dalam penanganan kasus ini, dengan harapan agar deteksi dini, penanganan optimal, serta upaya pencegahan dapat dilakukan secara maksimal.

Sebagian besar pasien dengan AAP tidak memiliki gejala (asimtomatik). Adapun gejala yang mungkin timbul adalah nyeri dada, sesak napas, suara serak, berdebar, batuk lama hingga batuk darah, yang merupakan gejala yang timbul akibat komplikasi dari APP itu sendiri. Gejala awal yang biasanya terjadi adalah nyeri dada yang bersifat persisten, dan dapat terjadi pada kedua sisi dada. Nyeri dada pada APP bersifat tidak khas (atipikal), yang disebabkan dari penekanan reseptor nyeri pada dinding arteri pulmonal atau penekanan dari struktur lain dalam rongga dada.  

Penyebab dari kelainan ini sendiri dapat dibedakan oleh karena idiopatik atau kelainan bawaan sejak lahir(kongenital) ataupun karena kondisi yang disebabkan oleh penyakit lain, seperti tuberculosis paru, vasculitis (keradangan pada pembuluh darah arteri), penyakit paru obstruktif (PPOK), tromboemboli (gumpalan darah yang menyumbat pada arteri pulmonal), serta tekanan tinggi pada pembuluh arteri pulmonal (hipertensi pulmonal). Faktor resiko lain yang berpengaruh penting adalah merokok, yang dapat meningkatkan derajat keparahan penyakit akibat kerusakan endotel pembuluh darah paru. Pada kondisi yang didapat ini, AAP juga seringkali disertai dengan tanda-tanda gagal jantung kanan seperti tekanan vena jugular yang meningkat serta bengkak pada perut dan kaki.

Untuk penegakan diagnosis dari APP sendiri tidak mudah. Riwayat gejala penyakit dan pemeriksaan fisik saja tidak menunjukan tanda yang khas, sehingga diperlukan alat bantu penunjang. X-ray dada, echocardiography, dan contrast enhanced computed tomogrpahy (CT) adalah alat bantu yang penting dalam konfirmasi diagnosis dan memberikan informasi mengenai ukuran, lokasi, dan ekstensi dari APP, sementara kateterisasi jantung kanan seringkali diperlukan untuk mengakses status hemodinamik dan tekanan pada arteri paru yang seringkali berkorelasi dengan APP itu sendiri.

Tatalaksana pada kasus APP dapat dengan terapi konservatif ataupun invasif (secara surgikal atau intervensional). Idiopatik APP merupakan kondisi yang cukup jinak, dan observasi konservatif dengan terapi medikamentosa cukup beralasan ketika didapatkan tekanan arteri pulmonal yang normal. Sementara pada kasus hipertensi pulmonal, terapi ditujukan berdasarkan penyebab dari penyakit dasarnya, meliputi obat-obat yang menurunkan tekanan arteri pulmonal. Namun, moyoritas pasien dengan tekanan yang telah menjadi normal tetap menunjukan peningkatan dari diamter AAP, dan memiliki resiko yang tinggi untuk terjadi nya diseksi atau ruptur dari arteri pulmonal, dan dapat menyebabkan kematian. Karena itu, terapi surgikal ataupun intervensi merupakan satu-satu nya pilihan terapi dengan kemungkinan harapan hidup jangka panjang. Namun sampai saat ini belum ada guideline yang jelas mengenai tatalaksana penyakit ini, baik di Indonesia maupun di dunia, karena masih minim nya kasus yang dilaporkan.

Di Indonesia sendiri, laporan ini merupakan kasus pertama yang dipublikasikan dan berlokasi di rumah sakit dengan fasilitas yang terbatas, sehingga pilihan modalitas untuk diagnosis dan terapi juga terbatas. Pada laporan ini kami membuktikan bahwa dengan alat penunjang yang terbatas di daerah, kita tetap dapat melakukan deteksi dini. Selain itu, terapi konservatif pada pasien kami juga menunjukan tidak ada pertamabahan diameter AAP dan hasil penurunan tekanan hipertensi pulmonal yang signifikan, serta membuat keluhan dan kualitas hidup pasien membaik.  Namun penting untuk tetap dikonsultasikan ke dokter bedah karena resiko ruptur tetap tinggi pada kasus seperti ini dan dapat berakibat fatal. 

Dari artikel ini, kami berharap bagi masyarakat yang didiagnosa oleh dokter dengan AAP, agar mengikuti saran dari dokter jika diminta untuk menjalani dioperasi walaupun tidak merasakan adanya keluhan apapun setelah mendapatkan penanganan dengan obat-obatan. Bukan karena masalah ekonomi seorang dokter yang berusaha agar semua pasien disuruh operasi sehingga dokter bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan, namun serta merta itu semua demi menyelamatkan pasien dari kematian karena kasus ini.

Penulis: dr. Ryan Enast Intan dan dr. Firas Farisi Alkaff

Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada publikasi ilmiah kami di: https://www.amjcaserep.com/download/index/idArt/918827

Intan RE, Hasibuan FS, Nugraha RA, Octora TN, Alkaff FF (2019). Proximal Pulmonary Artery Aneurysm Secondary to Suspected Pulmonary Hypertension Treated with Conservative Therapy in Limited Resource Setting. The American Journal of Case Reports, 20`:1805-1811.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).