Polemik Kenaikan BPJS

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Liputan6 com

Kehadiran program JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional memiliki peranan yang luar biasa. Salah satunya diwujudkan dalam BPJS kesehatan yang menggunakan sistem asuransi. Dengan harapan  seluruh Warga Negara Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk memproteksi kesehatan mereka dengan lebih baik. Melalui proses pendaftaran yang kemudian  menjadi peserta dan membayar setiap bulannya, mereka akan memperoleh manfaatnya. Namun bagi yang kurang mampu atau rakyat miskin, iuran akan ditanggung oleh pemerintah. Sehingga masyarakat bisa langsung berobat tanpa terkendala biaya.

Iurannya sendiri masyarakat satu dengan masyarakat lainnya berbeda-beda, tergantung jenis kepesertaannya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, pemerintah daerah akan membayar BPJS bagi masyarakat kurang mampu yang telah didaftarkan pemerintah. Bagi peserta  seperti anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, PNS, dll, dipotong langsung dari gaji bulanan yang diterimanya dan akan dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja dibayar oleh peserta yang bersangkutan sesuai dengan kelas yang dipilihnya, yaitu kelas 1 Rp 25.500, kelas 2 Rp 51.000 dan kelas 3 Rp25.500.

Sejak awal munculnya BPJS kesehatan, program ini sudah memunculkan  banyak pro dan kontra. Salah satunya mengenai peraturan pendaftaran kepesertaan yang mewajibkan seluruh anggota di Kartu Keluarga wajib didaftarkan. Hal ini dirasa memberatkan bagi yang memiliki banyak anggota keluarga dalam KKnya. 

Selanjutnya terkait faskes yang wajib dijadikan tujuan tempat berobat yaitu faskes tingkat pertama atau sesuai dengan keterangan yang tertera di kartu BPJS. Faskes tingkat pertama ini biasanya dipilih yang terdekat dari rumah. Jika di faskes tingkat pertama tidak dapat menangani, maka akan dibuatkan surat rujukan ke faskes tingkat kedua atau rumah sakit. Hal ini bisa terjadi karena di faskes tingkat pertama mungkin fasilitasnya tidak memadai. Kondisi yang kedua saat pasien benar-benar  mengalami keadaan gawat darurat, bisa langsung masuk ke IGD tanpa

harus sesuai dengan faskes tingkat pertama. Dengan syarat harus menunjukkan kartu BPJS secara fisik maupun online. 

Kemudian adanya masalah baru mengenai defisit BPJS yang semakin meningkat. Yang awalnya hanya diprediksi defisit Rp 28 triliun kini meningkat menjadi Rp 32 triliun. Salah satu penyebab defisit ini karena penerimaan iuran yang tak sebanding dengan pengeluarannya. Diketahui juga adanya masyarakat yang membayar iuran hanya pada saat ia membutuhkan saja, setelah dirasa sehat ia berhenti membayar. 

Untuk itu dilakukanlah perbaikan sistem dan manajemen JKN serta  penyesuaian iuran untuk mengatasi defisit tersebut. Perbaikan sistem dan manajemen JKN dirasa perlu untuk membenahi database peserta dan optimalisasi kepesertaan badan usaha. Karena adanya beberapa badan usaha yang melaporkan dengan hasil yang tidak valid. Penyesuaian iuran artinya akan ada proses kenaikan iuran.

Kenaikan iuran ini diikuti oleh semua kelas mulai tanggal 1 Januari 2020. Kelas 1 menjadi Rp 160.000, kelas 2 menjadi Rp 110.000 dan kelas 3 menjadi 42.000. Mau tidak mau tetap harus diterima, karena Perpres No 75 Tahun 2019 sudah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal  24 Oktober 2019.

Jika dipikirkan matang-matang sebenarnya iuran ini murah dibandingkan dengan perolehan manfaatnya. Per hari dan per orangnya saja kelas 3 hanya cukup menyisihkan uang kurang dari Rp 2.000. Namun jika kita sehat, berarti kita sudah membantu orang lain untuk berobat. Inilah yang dimaksud dengan gotong royong.

Satu-satunya cara yang dapat dilakukan jika merasa terbebani dengan kenaikan iuran tersebut adalah dengan menurunkan kelas perawatannya. Ini berarti  juga harus diikuti oleh seluruh anggota keluarga, namun hanya yang lebih dari 1 tahunlah yang bisa menurunkan kelas perawatannya. Dapat dilakukan dengan mendatangi langsung kantor BPJS terdekat atau dengan aplikasi JKN Mobile. Dengan adanya kenaikan iuran diharapkan diikuti dengan peningkatan kualitas dan pelayanannya. Serta akan lebih menggembirakan lagi jika terdapat  perubahan terkait faskes yang tidak harus di tingkat pertama, artinya BPJS ini sudah dapat digunakan dimanapun tanpa harus menggunakan surat rujukan dari faskes tingkat pertama.

Penulis: Zaskia Ariyanti Mahasiswa PSDKU Universitas Airlangga di Banyuwangi

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).