Mengelola Paradoks Organisasi untuk Inovasi yang Berkelanjutan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh rumahfilsafat

Dalam mengelola organisasi, pimpinan organisasi senantiasa mengalami tensi-tensi yang ditimbulkan dari paradoks yang harus dipilih. Misalnya, apakah organisasi perlu dikelola menggunakan sentralisasi atau desentralisasi agar semakin kompetitif? Apakah organisasi dikelola dengan kontrol (sistem manajemen) yang kuat atau memberikan fleksibilitas agar organisasi agile dalam menghadapi perubahan yang cepat? Atau apakah organisasi fokus pada eksploitasi atas kapablitas yang selama ini telah ada atau melakukan eksplorasi pada pengembangan produk-produk baru agar tetap kompetitif di masa datang?

Tensi-tensi yang ditimbulkan akan lebih besar pada organisasi yang memiliki clock speed yang cepat, misalnya industri TV yang mana kreatifitas maupun popularitas sebuah acara akan cepat hilang bilamana ada acara baru yang lebih segar dan menghibur. Untuk Indonesia, stasiun TV yang ada 95% pangsa pasarnya dikuasai oleh free-to-air yang mengandalkan pendapatan dari iklan. Pengiklan akan membayar lebih mahal untuk ditempatkan pada acara yang memiliki rating tinggi, dengan Nielsen sebagai satu-satunya lembaga paling kredibel. Clock speed yang tinggi semakin meningkatkan tekanan bagi manajemen stasiun TV, ketika Nielsen mengeluarkan data ratingnya setiap 30 menit.

Dalam kondisi tersebut, tentu membutuhkan cara tersendiri bagaimana mengelola organisasi agar senantiasa menghasilkan acara TV yang inovatif yang berkelanjutan. Hal inilah yang menjadikan industri TV berkarakter abusif bagi pekerja kreatif (baik script writer, camera-man, lighting, dan lainnya) dengan kompensasi yang diterima relatif rendah (dibandingkan jam kerja). Bilamana ada kesempatan yang lebih baik, mereka akan cenderung pindah ke pesaing. Godaan akan semakin terasa bagi tim yang memproduksi program acara TV yang sukses (rating tinggi). Hal inilah yang menjadikan paradoks yang dihadapi oleh manajemen stasiun TV menarik untuk diteliti, khususnya tentang bagaimana cara mereka mengelola paradoks yang dimiliki untuk mnghasilkan inovasi yang berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan menggunakan menggunakan studi kasus pada sebuah grup TV di Indonesia. Wawancara dan observasi kepada 52 informan dilakukan selama 2 tahun (2014-2016), sedangkan data-data sekunder (buku, majalah, koran, maupun video-video yang bisa diakses) memiliki rentang waktu 16 tahun.  Dianalisis menggunakan pendekatan grounded theory, analisis kami menemukan bahwa paradoks yang utama dihadapi dalam menciptakan inovasi yang berkelanjutan pada industri TV adalah manajemen program dan manajemen talenta.

Dalam manajemen program, terdapat kutub yang mengedepankan pada program-program ideal yang patut disajikan kepada masyarakat. Hal ini dikembalikan pada tujuan utama didirikan stasiun TV ini adalah mentransformasi bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Sedangkan kutub yang kedua mengedepankan komersialisasi dari program TV yang ada dengan tolok ukur utama keuntungan. Kedua kutub ini sangat terasa di level top management teams (baik direksi maupun komisaris), sehingga manajer dan staf secara tidak langsung dipaksa untuk memuasan kedua kutub ini, dan menghasilkan program yang ideal dan pada saat yang sama juga memenuhi target dasar untuk menciptakan keuntungan.

Dalam manajemen talenta, tensi ditimbulkan oleh paradoks antara golongan senior dan yunior. Hal ini diawali ketika berdirinya stasiun TV tersebut, dimana pemilik dan CEO memutuskan untuk menggunakan fresh-graduate dari 4 perguruan tinggi ternama (UI, ITB, UGM, dan UNAIR) untuk mengisi posisi staf. Selain menghindari silo-silo manajemen bilamana mengambil dari stasiun TV lain, juga energi kreatifitasnya masih original, dan yang terpenting adalah murah. Namun, mereka perlu dibimbing oleh para senior yang memiliki crystalized intelligence, baik dari intuisi maupun pengalaman yang mereka miliki. Kombinasi senior yang memiliki crystalized intelligence and yunior yang memiliki energi dan kreatifitas menjadikan inovasi-inovasi program yang dihasilkan selalu terbarukan. Hal ini juga ditunjang dengan turn-over yang tinggi, dimana tiap 2-3 tahun, hampir 40% tenaga yang direkrut keluar (baik diambil stasiun TV lain maupun alasan lainnya).

Model baterai yang ditawarkan dalam penelitian ini menitikberatkan fungsi budaya organisasi sebagai boundaries yang membedakan dengan stasiun TV lain. Budaya inti (core value) dari stasiun TV tersebut adalah trendsetter. Selalu membuat acara TV yang berbeda dan belum pernah ada sebelunya merupakan budaya inti dari perusahaan. Sedangkan yang menjadi perisai (espoused values) adalah spartan spirit dan self-developmentEsprit de corps (semangat sebagai satu kesatuan layaknya tentara dengan dedikasi waktu dan energi untuk stasiun TV) menjadi budaya yang paling terlihat dalam membedakan dengan stasiun-stasiun TV lain. Selain itu, semangat untuk trial and errors juga sangat terasa, dikarenakan sejak awal stasiun TV ini menitikberatkan untuk in-house production, sedangkan stasiun TV lainnya menggantungkan diri pada acara yang diproduksi oleh external production houses maupun mendapatkan lisensi dari acara-acara yang sedang populer (misalnya Indonesian Idol dll.).

Apat disimpulkan bahwa hampir setiap organisasi mengalami tensi-tensi dari paradoks yang mereka miliki. Model baterai yang dihasilkan dalam penelitian ini menjadi alternatif pemikiran bahwa tensi-tensi yang ada hendaknya tidak dihilangkan, namun perlu dikelola agar bisa menjadi sumber dari keunggulan bersaing yang berkelanjutan.

Penulis: Badri Munir Sukoco

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17510694.2019.1684094?journalCode=rcij20

Badri Munir Sukoco, Chairul Tanjung, dan Ishadi SK (2019). Managing paradoxes of innovation in an Indonesian TV group. Creative Industries Journal, forthcoming (https://doi.org/10.1080/17510694.2019.1684094).

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).