Pro Kontra Kenaikan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh merdeka com

Bulan Oktober menjadi bulan yang berat bagi Pemerintah Indonesia, lebih tepatnya Badan Penyelenggaraan KesehatanSosial(BPJS). Pasalnya, pada bulan tersebut iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami kenaikan yang menimbulkan opini pro kontra dari pemerintah maupun masyarakat, hingga muncul tagar #BPJSmenyengsarakan yang sempat viral di media sosial.

Sebelum membahasnya lebih jauh, ada beberapa hal yang perlu diluruskan, yaitu iuran yang naik adalah JKN bukan BPJS. Dilansir dari finansialku.com, bahwa BPJS merupakan badan hukum publik yang menyelenggarakan program sosial. BPJS sendiri terdiri dari BPJSKesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Keduanya diadakan sebagai bentuk layanan dari pemerintah untuk menjamin kesehatan dan kemudahan dalam mengakses layanan kesehatan.

Selain itu, BPJS Kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes(Persero) dan BPJS Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Hal tersebut, berawal pada tahun 2004 saat pemerintah mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional(SJSN) dan kemudian pada tahun 2011 pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Askes(Persero) sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga PT Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS Kesehatan.(Dikutip dari bpjs-kesehatan.go.id)

Kemudian, JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional adalah bentuk pelayanan kesehatan yang menggunakan sistem asuransi. Sehingga seluruh warga Indonesia diwajibkan untuk memiliki jaminan kesehatan tersebut dan membayar iuran setiap bulannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang mengalami kenaikan iuran adalah JKN, bukan BPJS. Karena BPJS merupakan badan yang menyelenggarakan program JKN tersebut.

Kenaikan Iuran JKN

Setelah dilantik pada 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo dengan resmi merilis Peraturan Presiden tentang kenaikan iuran JKN di semuakelas yang berlaku mulai 1 Januari 2020. Kenaikan iuran tersebut telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, dan berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.

“Untuk meningkatkankualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan, perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan,” demikian bunyi Perpres No 75 Tahun 2019 tersebut.(Dikutip dari Kompas.com)

Besaran kenaikan iuran JKN BPJS kesehatan yaitu iuran mandiri Kelas III dari Rp25.500 per bulan menjadi Rp 42.000, Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.

Pro JKN Naik

Pemerintah melalui BPJS menjelaskan bahwa kenaikan iuran JKN untuk menutupi difisit keuangan BPJS yang terus meningkat. Terdapat beberapafaktor yang menyebabkan tingginya nominal defisit

yang dialami oleh BPJS. Pertama yaitu, premi atau iuran yang ditetapkan oleh pemerintah teryata tidak sesuai dengan hitungan aktuaria. Sebagaicontoh, untuk kelas II besar iurannya sebesar Rp. 51.000/bulan, padahal seharusnya Rp. 63.000/bulan. Sehingga pada kelas II saja, pemerintah harus mensubsidi sebesar Rp. 12.000, belum lagi pada kelas yang lain. Kedua yaitu, penerapan konsep “gotong royong” yang diusung BPJS Kesehatan, belum berjalan sepenuhnya. Karena fakta dilapangan menyebutkan bahwa masih banyak peserta mandiri yang membayar iuran hanya pada saat sakit saja dan selanjutnya menunggak. Maksud dari konsep “gotong royong” yaitu pesertaJKN yang mampu, memberikan subsidi kepada peserta yang kurang mampu, dengan kata lain biasa disebut subsidi silang. Selain itu, masih terdapat beberapa faktor lain, seperti yang dilansir dari detik.com, bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan(BPKP) mendapatkan temuan terkait data peserta JKN yang bermasalah, perusahaan yang memanipulasi gaji karyawan, potensi penyalahgunaan regulasi dengan memberikan pelayanan rumah sakit lebih rendah dari seharusnya, dll.

Dilansir dari finansial.bisnis.com, hasil survei kepada peserta BPJSkelas I dan II terkait tanggapan mereka terhadap kenaikan nominal iuran JKN, sebagian besar menyebutkan bahwa tidak ada rasa keberatan atas kenaikan tersebut, asalkan juga diimbangi dengan peningkatan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan. Sebagian dari mereka juga merasa bertanggungjawab dengan konsep “gotong royong” yang diusung BPJS, sehingga mereka tidak merasa keberatan dengan tujuan untuk saling membantu antar peserta JKN.

Kontra JKN Naik

Pada rapat gabungan Komisi IX dan XI DPR dengan pemerintah dan direksi BPJS Kesehatan, beberapa anggota DPR menyampaikan ketidaksetujuan. Kesimpulan yang diambil pada hasil rapat tersebut yaitu tidak setujunya DPR terhadap kenaikan iuran JKN pada kelas III.

“Setelah berdiskusi panjangdengan pemerintah akhirnya sepakat untuk kelas III tidak naik,” kata Dede Yusuf.

ia mengatakan, bahwa iuran untuk kelas II tak dinaikkan terlebih dahulu karena 60persen peserta BPJS merupakan masyarakat dari ekonomi bawah.(Dikutip dari detik.com)

tak bisa dipungkiri, bahwa mayoritas pihak yang menyatakan kontra dengan keputusan pemerintah terkait kenaikan iuran JKN yaitu masyarakat menengah ke bawah. Sehingga potensi ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan Presiden dalam menaikkan iuran JKN cukup tinggi.

Solusi

Solusi terbaik tetaplah mendukung dalam peningkatan tarif iuran JKN, namun hanya pada kelas I dan II. Khusus kelasIII tidak akan memungkinkan jika tetap memaksa untuk ditingkatkan jumlah iurannya, karena 60%dari peserta JKN merupakan pesertadari kelas III, sehingga akan timbul banyak penolakan dari elemen masyarakat. Serta, berpotensi juga dalam penurunan pendapatan BPJS, karena masyarakat merasa terbebani dengan iuran JKN, sehingga sangat mungkin jika masyarakat keluar dari kepesertaan JKN dan lebih memilih asuransi lain yang memiliki tarif iuran tidak jauh berbeda dengan JKN. Selain itu, peningkatan tarif iuran JKN juga sebagai upaya tanggungjawab pemerintah dalam menyelesaikan problem JKN tanpa mengurangi sedikitpun kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan.

Penambahan subsidi anggaran dari APBN kepada BPJS dirasa juga perlu, untuk menekan defisit per tahunnya, karena tidak semuakesalahan terletak pada masyarakat yang menunggak dalam membayar

iuran. Namun, BPJS juga bertanggungjawab atas kesalahannya di awal yang salah dalam menetapkan tarif iuran, sehingga harus mensubsdi lebih, akibat kesalahan tersebut. Olehkarena itu, dibutuhkan subsidi anggaran lagi untuk menutup defisit tersebut, karena jika hanya mengandalkan iuran dari peserta tidak akan selesai dalam waktu singkat.

Selain itu, perlu juga dilakukan penertiban badan usaha yang melakukan kerja sama dengan BPJS. Dari temuan BadanPengawas Keuangan dan Pembangunan(BPKP) terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Ada sekitar 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha. Serta, ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.(Dikutip dari banjarmasin.tribunnews.com)

Terlepas dari keberadaan BPJS, peran pemerintah dalam merealisasikan pola hidup sehat kepada masyarakat lebih penting dari bahasan di atas. Karena, pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Sehingga, jika program hidupsehat sukses diterapkan dalam pola hidup masyarakat, iuran asuransi sekecil apapun akan berjalan dengan lancar dantidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.

Berita Terkait

Bastian Ragas

Bastian Ragas

Kepala Departemen Informasi dan Relasi Publik KM PSDKU UNAIR Banyuwangi 2019 Mahasiswa Akuakultur PSDKU Universitas Airlangga Banyuwangi