Deteksi Cepat Anemia Defisiensi Besi pada Gagal Ginjal Kronik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi gagal ginjal kronik. (Sumber: Liputan6)

Gagal ginjal kronik memberikan gejala anemia. Mengapa? Karena pada ginjal terdapat sel parenkim yang berfungsi menghasilkan eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon yang bertanggungjawab pada proses pembentukan eritrosit (eritropoiesis) di sumsum tulang. Eritropoietin ini akan masuk ke dalam sel yang menadi cikal bakal eritrosit (prekursor eritroid) melalui reseptor eritropoietin dan memicu proliferasi sel di dalam prekursor eritroid, untuk selanjutnya sel ini mengalami pembelahan menjadi 2 anak sel. Pada gagal ginjal kronik, sel parenkim ini mengalami kerusakan, akibatnya produksi hormon eritropoietin pun berkurang. Jadi pada gagal ginjal kronik akan didapatkan anemia.

Anemia pada gagal ginjal kronik diterapi dengan rekombinan eritropoietin untuk menggantikan eritropoietin endogen sehingga proses proliferasi tetap berjalan. Untuk keberlangsungan eritropoiesis tidak hanya dibutuhkan kadar eritropoietin normal, tetapi juga bahan-bahan pendukung lainnya dalam jumlah normal, termasuk diantaranya zat besi tubuh yang menjadi bahan baku hemoglobin.

Pada kenyataannya, tidak semua pasien gagal ginjal kronik memiliki kecukupan besi. Banyak diantara pasien yang juga mengalami defisiensi besi. Akibatnya, sekalipun diterapi dengan rekombinan eritropoietin tidak akan mengatasi anemia nya, karena bahan baku zat besinya kurang.

Oleh karenanya diperlukan diagnosis defisiensi besi pada anemia pada gagal ginjal kronik agar terapi rekombinan eritropoietin menjadi efektif. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan status defisiensi besi selama ini menggunakan banyak parameter yaitu serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin (SI/TIBC) dan feritin. Pemeriksaan ini meliputi banyak parameter dan tentunya juga biaya yang tidak murah dan waktu pemeriksaan yang tidak singkat.

Saat ini banyak alat hematologt analyzer yang menawarkan parameter yang relatif baru yaitu hemoglobin retikuolosit (Ret-He). Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kecukupan besi dengan mengukur kandungan hemoglobin pada eritrosit yang masih muda (retikulosit). Dengan mengukur hemoglobin pada retikulosit diharapkan dapat menilai kecukupan besi lebih cepat dibandingkan mengukur hemoglobin pada retikulosit.

Prinsip ini ternyata baik diterapkan untuk memonitor kecukupan besi pada pasien yang sedang dalam terapi zat besi, sehingga dapat membantu memutuskan lebih cepat kapan terapi zat besi dihentikan. Pemeriksaan Ret-He untuk mendiagnosis defisiensi besi pada pasien belum banyak dilakukan.

Sementara itu selain parameter yang banyak tersebut untuk menilai status besi, terdapat pemeriksaan baru yaitu dengan memeriksa reseptor transferin yang terlepas dari sel dan beredar di sirkulasi yang disebut sebagai soluble transferrin receptor (sTfR). Reseptor ini normal berada pada permukaan membran sel prekursor eritroid. Ketika tubuh kekurangan besi, maka terdapat kompensasi dengan meningkatkan reseptor transferrin.

Transferin adalah protein yang mengikat besi di sirkulasi. Peningkatan reseptor transferin ini bertujuan agar lebih banyak besi yang dapat ditangkap sel dan masuk serta digunakan sel untuk pembentukan hemoglobin. Karena produksinya meningkat maka sebagian reseptor ini ada tang terlepas dan beredar di sirkulasi yang dapat diperiksa. Kadar di dalam sirkulasi sebanding dengan peningkatan produksinya.

Penelitian ini mengkaji pemeriksaan Ret-He dan soluble transfern receptor (sTfR) untuk mendiagnosis defisiensi besi pada pasien gagal ginjal kronik. Hasil penelitian membuktikan bahwa kedua parameter ini memiliki nilai diagnostik yang baik. Pemeriksaan Ret-He mempunyai keuntungan mudah dikerjakan karena bersamaan dengan pengerjaan pemeriksaan darah lengkap pada alat hematology analyzer, dan dengan waktu pengerjaan yang lebih cepat.

Selain mudah dan cepat, biaya yang dikeluarkan juga cukup murah dibandingkan dengan pemeriksaan status besi terdahulu. Sedangkan pemeriksaan sTfR masih memerlukan biaya yang masih relatif mahal. Dengan ditemukannya Ret-He sebagai parameter yang baik untuk menilai kecukupan besi pasien gagal ginjal kronik, maka diharapkan banyak pasien gagal ginjal kronik dengan anemia defisiensi besi yang dapat terdeteksi. Sehingga pemberian terapi besi pada pasien gagal ginjal kronik dengan defisiensi besi sebelum pemberian rekombinan eritropoietin dapat terlaksana, dan hal ini tentu diharapkan dapat membantu menekan angka kegagaln terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronik. (*)

Penulis: Yetti Hernaningsih

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://innovareacademics.in/journals/index.php/ajpcr/article/view/34639

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).