Strategi Indonesia Hadapi Kompetisi AS-China

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi hubungan AS-China. (Sumber: https://www.asiatimes.com/2019/11/article/asean-needs-bigger-voice-in-us-china-rivalry/)

Sejak Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendeklarasikan perang dagang melawan China pada 2017, kedua negara besar ini terlibat dalam persaingan yang kian sengit. Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan Presiden China Xi Jinping pada 2013 ditandingi oleh Free and Open Indo-Pacific (FOIP) yang dipromosikan Trump.

BRI merupakan strategi China untuk meningkatkan konektivitas regional melalui pembangunan infrastruktur di 152 negara yang terbentang di Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika. AS mengklaim proyek-proyek BRI yang banyak disokong dana bantuan China sebagai jebakan hutang yang berpotensi menciptakan ketergantungan terhadap China. Karena itu, AS menawarkan FOIP sebagai alternatif untuk menciptakan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

Meningkatnya kompetisi antara AS dan China akhir-akhir ini perlu ditanggapi Indonesia dengan kebijakan strategis. Dalam menghadapi persaingan dua kekuatan terbesar dunia, Indonesia selalu memainkan posisi strategis untuk mengambil keuntungan dari persaingan itu.

Berdasarkan prinsip politik luar negeri bebas aktif dan menekankan Asia Tenggara sebagai prioritas utama, Indonesia berupaya aktif menjaga stabilitas kawasan agar terhindar dari intervensi eksternal dengan tetap menjaga keseimbangan hubungan dengan negara-negara besar yang memiliki kepentingan di kawasan. Karena itu, Presiden Joko Widodo menerapkan ‘double hedging strategy’ dengan memperkuat kerjasama ekonomi dengan China seraya tetap melibatkan AS dalam dinamika kawasan.

Kerja Sama dengan China

Menurut Novotny (2010), elit Indonesia memandang kebangkitan China memiliki dampak positif sekaligus negatif terhadap Indonesia. Di satu sisi, China dianggap mampu mengurangi ketergantungan Indonesia kepada AS. Di sisi lain, kebangkitan ekonomi China dapat mengarah kepada saling ketrgantungan antara dua negara. Karena itu, Indonesia perlu mengelola penguatan hubungan ekonomi dengan China tanpa menjadi tergantung terhadap kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia ini.

Seiring dengan penandatanganan Kemitraan Strategis Komprehensif pada 2013, volume dagang antara Indonesia dan China meningkat hampir dua kali lipat dari 44,5 miliar dollar AS pada 2015 ke 72,7 miliar dolar AS pada 2018. Jumlah ini jauh melebihi volume dagang antara Indonesia dan AS pada 2018 yang mencapai 28,6 miliar dolar AS.

Selain itu, total investasi China di Indonesia juga meningkat dari 628,34 juta dollar AS pada 2015 ke 3,36 miliar dolar AS pada 2017. Tahun lalu, China mengerjakan 1.562 proyek investasi di Indonesia. Nilai tersebut menempatkan China sebagai mitra dagang terbesar pertama dan investor terbesar ketiga Indonesia yang berkontribusi sebanyak 8,2 persen dari total investasi asing di Indonesia.

Statistik ekonomi mengindikasikan bahwa BRI telah meningkatkan ekspansi ekonomi China ke Indonesia. Bagi China, Indonesia merupakan mitra penting di Asia Tenggara untuk mengembangkan konektivitas regional melalui jalur maritim. Bagi pemerintah Indonesia, BRI harus disambut dan diintegrasikan dengan Poros Maritim Dunia dan aneka proyek infrastruktur yang digalakkan Presiden Jokowi lima tahun terakhir. Tidak mengherankan jika hubungan Indonesia dan China semakin erat karena kedua negara memiiliki kepentingan strategis untuk menyukseskan visi masing-masing.

Melibatkan AS di Kawasan

Meskipun Indonesia memiliki hubungan yang semakin dekat dengan China, pemerintah Indonesia tetap menjaga agar kedekatan itu tidak sampai membuat Indonesia tergantung kepada China. Karena itu, Indonesia juga tetap menjaga hubungan baik dengan AS melalui penguatan kerangka multilateralisme yang di dalamnya melibatkan AS. Khawatir atas dominasi China di East Asia Summit (EAS), Indonesia mengundang AS menjadi anggota forum multilateral ini pada 2011.

Tantangan muncul ketika Trump lebih memprioritaskan hubungan bilateral daripada multilateral yang tampak dari kebijakannya untuk menaikkan tarif impor produk-produk asing yang masuk ke pasar AS –termasuk di antaranya yang berasal dari Indonesia dan China- dan mengeluarkan AS dari Trans-Pacific Partnership (TPP).

Di Laut China Selatan, AS kerap terlibat ketegangan dengan China dan hal itu mengganggu stabilitas kawasan. Klaim China atas sebagian wilayah di Laut China Selatan perhatian serius pemerintah Indonesia karena beririsan dengan wilayah teritoria Indonesia di Laut Natuna Utara.  Menyadari bahwa AS dan China bersaing di dekat wilayah territorial Indonesia, pemerintah Indonesia mengajak kedua negara untuk menahan diri dan menyelesaikan semua persoalan melalui jalur dialog dalam kerangka multilateral.

Karena itu, Indonesia mempelopori pengembangan kerangka multilateralisme Indo Pasifik yang berbasiskan sentralitas ASEAN. Melalui ASEAN Outlook on Indo-Pacific, Indonesia mendorong ASEAN untuk bersatu sebagai motor penggerak stabilitas di Indo Pasifik. AS mendukung gagasan ini, tetapi China menolaknya.

Meskipun AS terkesan meninggalkan multilateralisme, tetapi dukungan AS terhadap ASEAN Outlook on Indo-Pacific mengindikasikan bahwa AS ingin tetap terlibat di Asia Tenggara untuk menjaga kepentingan strategisnya di kawasan. Bagi Indonesia, hal itu penting untuk menjaga stabilitas kawasan di tengah semakin meningkatnya pengaruh China. (*)

Penulis: A Safril Mubah

Tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel ilmiah berjudul “Indonesia’s Double Hedging Strategy towards the United States-China Competition: Shaping Regional Order in the Indo-Pacific?” yang dipublikasikan di jurnal Issues & Studies, Vol. 55, No. 4, Desember 2019.

Selengkapnya lihat di https://www.worldscientific.com/worldscinet/is (DOI:10.1142/S1013251119400071)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).