UNAIR-Kominfo RI Adakan Forum Diskusi Publik Soal Pancasila

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Prof. Dr. H. Henry Subiakto Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI sekaligus Guru Besar Ilmu Komunikasi UNAIR saat mengisi diskusi publik pada Selasa (26/11/2019) di Hotel Harris and Convention, Surabaya. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO RI) menggelar Forum Diskusi Publik pada Selasa (26/11/2019) di Hotel Harris and Convention, Surabaya. Diskusi publik itu mengusung tema Pancasila: Jiwa dan Kepribadian Bangsa Indonesia.

Dalam kesempatan itu Prof. Dr. H. Henry Subiakto Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI sekaligus Guru Besar Ilmu Komunikasi UNAIR hadir untuk memberikan paparan tentang jiwa pancasila di era digital.

Dikatakan Prof Henry bahwa bahwa kita lahir di Indonesia hidup dalam kebhinekaan. Kita lahir dalam lingkungan dengan beragam agama, budaya, serta suku. Perbedaan tersebut tergabung dalam satu negara, yaitu Indonesia. Segregasi baru pun tercipta seiring perkembangan dunia digital, yaitu Echo Chambers.

“Algoritma yang membuat kita berkumpul dengan orang-orang yang sepikiran. Ini tantagan bagi Indonesia,” ujar Prof. Henry.

Elemen-elemen yang mempersatukan Indonesia adalah Pancasila, bahasa Indonesia, UUD 1945, serta agama Islam. Karena kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia mulai mempersatukan bangsa. Tak luput juga seperti TNI, POLRI, serta birokrasi juga menjadi pemersatu bangsa.

“Untungnya Indonesia memiliki bahasa pemersatu, bahasa Indonesia. India tidak ada bahasa persatuan, mereka memakai bahasa Inggris,” tuturnya.

Sementara itu, Prof. Henry mejelaskan sejelek-jeleknya birokrasi, hal itu menyatukan Indonesia. “Kalau gak ada birokrasi, tidaklah ada penyekatan hukum dan regulasi,” imbuhnya.

Dalam era digital, aktivitas masyarakat tergantung dengan teknologi seperti smartphone. Lalu di era ini semua orang bisa menjadi jurnalis. “Anyone can be a journalist, semua orang bisa berpesan, termasuk orang-orang yang tidak suka dengan negara dan Pancasila,” ungkapnya.

Lalu Prof. Henry membahas tentang radikalisme serta terorisme. Mengutip dari buku tulisan Peter Seinger, menjelaskan bahwa kelompok radikal menganggap dunia sedang berperang.

“Teroris itu sebenarnya bukan barang baru, itu sudah ada sejak dulu. Dulu ada Maridjan Kartosoewirjo,” paparnya.

Persoalan radikalisme ini bukan hanya di Indonesia, tetapi banyak Negara. Gejala ekstrim kanan di berbagai neagra. Radikalisme banyak dimanfaatkan di politis praktis di media sosial. “Repotnya kita bergantung pada media sosial, terjadilah paradoc of democracy yang menyebabkan disinformasi. Media sosial itu ajang perang. Di saat perang itu yang akan hilang itu adalah fakta dan kejujuran,” jelas Prof. Henry.

Tujuan hoaks dibuat karena hoaks bisa mempengaruhi opini publik dan tindakan seseorang. Bagian otak yang terkena jika kita menerima hoaks adalah Croc Brain, yang memunculkan rasa takut dan mempengaruhi tindakan seseorang.

Di akhir. Prof. Henry berpesan kepada mahasiswa jangan mudah menyebarkan hoaks dan konten-konten negatif, karena jejak digital itu mudah dicari. Hati-hati pelaku digital itu mudah dilacak dalam waktu yang singkat.

“Hoaks harus kita lawan. Jangan menyebar kebencian dan ketakutan bagi masyarakat Indonesia,” tegas Prof. Henry. (*)

Penulis : R. Dimar Herfano Akbar

Editor : Binti Q Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).