Menilik Kekebalan Terhadap Difteri Pada Mantan Penderita Dan Karier Difteri Di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Difteri merupakan salah satu penyakit menular mematikan yang hingga saat ini masih sering dijumpai di Indonesia. Jawa Timur adalah penyumbang terbesar kasus difteri di Indonesia. Jawa Timur berpenduduk sekitar 35 juta jiwa, dan secara kultural ada dua budaya besar yang ada di Jawa Timur yaitu Jawa dan Madura. Daerah di pesisir utara dan timur provinsi lebih banyak ke arah kebudayaan Madura sedangkan daerah barat dan selatan lebih banyak terdiri dari orang berkebudayaan Jawa.

Paparan terhadap bakteri penyebab penyakit difteri, Corynebacterium diphtheriae, dapat berakhir pada 3 kemungkinan yaitu sakit, sehat (kontak tapi hasil biakan negatif), dan karier (pembawa). Dua kelompok yang banyak menarik perhatian karena potensi bahaya baik bagi diri sendiri maupun komunitas adalah penderita dan karier.

Setelah menderita sakit, pasien difteri tidak akan mempunyai kekebalan yang memadai menghadapi penyakit tersebut. Itu sebabnya penderita ini wajib menerima imunisasi difteri setidaknya dua minggu setelah dinyatakan sembuh. Kelompok karier atau pembawa adalah salah satu sumber penular penyakit difteri. Kelompok ini membawa bakteri namun tidak menunjukkan gejala dan tanda sakit. Karier juga perlu memperbaiki status imunisasinya.

Kadar antibodi antidifteri menunjukkan tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri. Kadar antibodi ini akan meningkat setelah imunisasi atau jika terus menerus mengalami paparan dengan kuman.

Penelitian yang dilakukan di seluruh wilayah Jawa Timur ini mempunyai sasaran para penderita dan karier difteri pada periode 2011-2015. Data penderita dan karier tersebut disimpan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya (BBLK) dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Seluruh penderita dan karier yang ada dalam catatan tersebut didatangi satu persatu, diwawancara, diperiksa fisiknya, dan kemudian diambil darahnya. Usia penderita dan karier dibatasi hanya hingga 18 tahun. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar antibodi dilakukan di BBLK surabaya dengan metode Vero cell sesuai standar WHO.

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa dari 173 anak di dalam pusat data, yang berhasil direkrut berjumlah 113 yang terdiri dari 25 karier dan 88 penderita. Kelompok terbesar berusia 5-12 tahun, dengan status nutrisi yang baik, dan tidak mendapatkan imunisasi yang cukup. Dari hasil pemeriksaan antibodi dari penderita yang dibagi berdasarkan kelompok usia dan status penderita dan atau karier didapatkan beberapa hasil seperti berikut: (1) Sebagian besar partisipan mempunyai kadar antibodi cukup tinggi atau yang dinyatakan sebagai “full immunity” dan “long term protection” sesuai kriteria WHO; (2) tidak didapatkan perbedaan signifikan dalam hal kadar antibodi antara penderita dan atau karier pada periode 2012+2013 dengan 2014+2015; (3) Perbandingan risiko menderita sakit antara penderita dan karier yang dinyatakan dalam Prevalence Ratio adalah sebesar 1,226 hingga 1,346; (4) Kekebalan kelompok karier umumnya lebih baik, atau dengan kata lain kadar antibodi kelompok karier lebih tinggi daripada kelompok penderita.  Kelompok usia terbesar dalam penelitian ini adalah 5-18 tahun; (5) Status imunisasi kedua kelompok tidak berbeda.

Sekitar 8% karier dan 24% pasien tidak mampu mencapai kadar antibodi yang diinginkan (0,1 IU/L). Hal ini mencerminkan pula kegagalan petugas kita untuk selalu melakukan follow up terhadap penderita.  Partisipan dengan kadar antibodi rendah sangat rentan tertular kembali penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut. Anak dengan kadar antibodi rendah (<0,1 IU/ml) adalah yang berada dalam risiko yang paling besar

Kesimpulan penelitian ini adalah dengan pengambilan sampel yang dilakukan pada kurun waktu 6 bulan hingga 3,5 tahun setelah mempunyai bakteri C. diphtheriae dalam tubuh, penderita difteri menunjukkan kadar antibodi yang lebih rendah dari pada kelompok karier . Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkenan untuk menjadi masukan kebijakan selanjutnya dari kalangan kesehatan. Kegagalan menindaklanjuti penderita dan karier perlu mendapatkan perhatian serius mengingat penderita atau karier yang sudah sakit atau terpapar di masa lalu tetap tidak mempunyai perlindungan yang cukup setelah beberapa tahun. 

Penulis: Dominicus Husada

Detail tulisan ini dapat dilihat di:

http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?vid=0&sid=aeb6dfbc-aa18-4339-bafa-e921efbb80df%40pdc-v-sessmgr05&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#AN=139319986&db=ddh

Dominicus Husada, Leny Kartina, Dwiyanti Puspitasari, Ni Wajan Tirthaningsih, Parwati S. Basuki, Ismoedijanto Moedjito. 2019. Antidiphtheria Antibody of Patients and Carriers Several Years after the Illness in Indonesia. Journal of International Dental and Medial Research 2019; Volume 12 (3): 1236-41.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).