Pakar Filologi UNAIR Ungkap Bagaimana Dialog Lintas Agama Jadi Kunci

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Memperingati hari toleransi internasional pada Sabtu (16/11/19), Kementerian Keagamaan BEM Fakultas Ilmu Budaya UNAIR berusaha untuk mengkaji bagaimana toleransi di Indonesia terbentuk dan dilaksanakan di tengah kemajemukan kultur dan agama yang menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia. Menachem Ali, dosen filologi prodi Bahasa dan Sastra Indonesia menyoroti bagaimana sebenarnya ke-Indonesia-an bisa dinilai pada dua aspek. Yakni, keagamaan dan kebangsaan. Menachem berpendapat bahwa apabila salah satu saja dari kedua pilar tersebut roboh, maka akan roboh pula ke-Indonesia-an bangsa.

“Salah satu aspek kecil dari agama adalah salam. Di Islam, kita punya Assalamu’alaikum, Kristen ada Shalom, Konghucu dengan Sancai, Hindu dengan Shanti. Ada banyak huruf S disana. Dan arti dari kesemuanya sama, yakni mengirim pesan perdamaian,” ujarnya dalam Seminar di Aula Parlinah, Perpustakaan Kampus B pada Jumat (22/11/19).

“Kita bahkan bisa menemukan kisah Nuh di lebih dari empat kitab agama yang berbeda-beda. Ada pula kesamaan ayat-ayat dalam Al-quran dan Weda. Hal ini hanya membuktikan bahwa semua agama itu pada dasarnya sama. Membawa umatnya pada kebajikan dan kedamaian. Perbedaan inilah seharusnya menjadi hal yang dirayakan,” katanya.

Menachem menilai bahwa konflik dan intoleransi agama di Indonesia terjadi karena kurangnya dialog dan kajian lintas agama yang membahas isi-isi dalam ajaran dan kitab agama. Penolakan atas nilai-nilai agama tertentu yang selama ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat pada dasarnya hanyalah asumsi tanpa dasar yang lahir dari pemahaman yang minim terhadap agama itu sendiri.

Selain keagamaan, Menachem juga menyoroti nilai kebangsaan sebagai aspek fundamental persatuan. Kebangsaan Indonesia sendiri dia nilai sebagai kebangsaan paling unik di jagat bumi.

“Banyak Syekh asal Timur Tengah yang kagum dengan Indonesia. Bagaimana tidak, Timur Tengah adalah satu bangsa dengan satu Bahasa yang sama pula tersebar menjadi dua puluh negara. Sementara kita, terdiri dari ratusan etnis, bangsa, agama, dan budaya, tapi mampu terintegrasi menjadi satu nasionalisme!”

Hal ini kemudian diikuti dengan kecerdasan para founding fathers bangsa yang mampu mengakomodasi perbedaan tersebut dalam satu wadah ideologi bersama. Salah satu di antaranya adalah Bhinneka Tunggal Ika yang hakikatnya lahir dari kalimat di kitab Sutasoma yang membahas mengenai keagamaan.

“Apa yang saya khawatirkan kemudian adalah generasi kini memiliki spirit belajar agama yang tinggi, tapi salah dalam memilih sumber ilmu. Mereka dengan lugunya memilih google dengan sumber-sumber inkredibel sebagai rujukan. Hal ini yang membuat kita terlena dan berpotensi menimbulkan miskonsepsi dan kesalahpahaman,” katanya.

Maka, sebagaimana teks kitab Ramayana, Menachem mengimbau pemerintah dan ulama dari agama manapun untuk terus bersinergi agar keindonesiaan mampu untuk terus dijaga. Karena, ulama dan agama dinilai sebagai akar rumput yang mampu membentuk toleransi antar individu. Hal itu menjadi suatu hal yang sebenarnya telah diinisiasi Kementerian Keagamaan BEM FIB dengan mengadakan dialog lintas agama untuk membahas esensi dasar dan permasalahan keagamaan di Indonesia.

Seminar Pekan Toleransi yang bertajuk Merayakan Indonesia, Merawat Keberagaman, Merajut Persatuan, Untuk Perdamaian tersebut turut dihadiri oleh Drs. Chalimi selaku mantan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB Surabaya) serta Dr. Drs. R. Otto Wahyudi M.Si., MM. sebagai tokoh penghayat kepercayaan. (*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).