Peneliti Farmasi UNAIR Temukan Obat Radang Sendi dari Limbah Kepiting

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Artikel Ilmiah oleh Feri Fenoria

UNAIR NEWS – Indonesia merupakan negara maritim, memiliki laut dengan kekayaan hayati berlimpah. Di antaranya krustasea mulai dari lobster, udang dan kepiting, dimana jika diolah menjadi makanan, 40-50 persen dari berat totalnya akan terbuang sebagai limbah. Sedangkan limbah perikanan tersebut sebenarnya masih dapat diolah kembali menjadi bahan yang bermanfaat dalam industri pangan, obat, biomedis, dan kosmetik, seperti kitin, kitosan, dan gluksamin.

Dijelaskan oleh Prof. Dr. Noor Erma Nasution Sugijanto, Apt., bahwa Indonesia diperkirakan menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah yang mengandung kitin setiap tahun. Hingga tahun 2019, industri bahan baku farmasi memproduksi glukosamin masih melalui proses hidrolisis kitin dari cangkang udang, dan cara lain melalui jalur kitosan.

“Hingga saat ini bahan baku obat untuk industri farmasi di Indonesia ± 95%, masih impor termasuk glukosamin. Tahun 2015 hingga 2016 impor glukosamin dari India senilai USD 18.403, hal itu sangatlah ironis, karena bahan bakunya berlimpah di negeri ini,” ungkapnya.

Glukosamin umumnya diisolasi dari cangkang udang yang ketersediaannya di alam semakin terbatas, oleh karena itu Prof. Noor melakukan kajian terhadap metode isolasi glukosamine yang efisien dan dapat dilakukan dengan sumber bahan baku yang lain agar nantinya Indonesia dapat mandiri memenuhi suplai bahan baku obat khususnya glukosamine. Bahan baku tersebut yaitu, limbah kepiting bakau (Scylla paramamosain).

“Kepiting bakau merupakan komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, produksinya ±40% total produksi kepiting di Indonesia. Kepiting bakau ini jumlahnya cukup besar dan dimanfaatkan untuk makanan, besar pula limbah yang dihasilkan,” jelasnya.

Prof. Noor kembali menjelaskan, bahwa limbah kepiting, udang dan kerang dari restoran yang ada di Indonesia, digunakan sebagai pakan ternak. Padahal, produk yang berasal dari cangkang Krustasea ini memiliki nilai ekonomi karena dapat diolah menjadi kitin, kitosan dan glukosamin.

“Glukosamin merupakan suatu amino monosakarida yang merupakan substrat untuk produksi aggrecan dan proteoglikan, memiliki aktivitas terapeutik untuk osteoarthritis (radang sendi), karena itu glukosamin digunakan sebagai suplemen diet pada terapi osteoarthritis, nyeri lutut dan punggung,” imbuhnya.

Mengkaji hal tersebut, Prof. Noor melakukan optimasi kondisi isolasi untuk menghasilkan glukosamin HCl dari limbah cangkang kepiting bakau sebagai bahan baku alternatif. Hasil isolasi dipastikan dengan diidentifikasi menggunakan spektrometri inframerah (FT-IR), serta dilakukan verifikasi metode analisis untuk uji kualitatif dan kuantitatif menggunakan HPLC sesuai monografi glukosamin hidroklorida di USP 41, 2018. Dan hasil dari penelitian tersebut menyatakan, bahwa limbah kepiting bakau berpotensi digunakans sebagai bahan obat radang sendi yang lebih efisien dari segi ketersediaan bahan baku dan metode.

“Melalui penelitian ini, diharapkan limbah kepiting bakau dapat diolah kembali menjadi produk bernilai tambah yang berpotensi untuk dikembangkan di bidang makanan, kosmetik dan obat-obatan, serta sekaligus mengurangi limbah cangkang, yang berarti juga memperbaiki kondisi lingkungan hidup masyarakat secara terpadu,” pungkasnya.

Penulis: Bastian Ragas

Editor : Nuri Hermawan

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di :

https://jurnalteknologi.utm.my/index.php/jurnalteknologi/article/view/13416

Astrid Kusuma Putri, Sugijanto Kartosentono, Noor Erma Nasution Sugijanto (2019). Isolation of Glucosamine HCl from Scylla paramamosain and determination by HPLC. Jurnal Teknologi, 81, (5): 1-8

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).