Kata Dosen UNAIR Soal Polemik Politikus Perempuan di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Feri Fenoria R

UNAIR NEWS – “Sebuah pertarungan politik idealnya haruslah terlepas dari isu gender yang bersifat tradisional dan mengekang”, begitu ungkap Nurul Fitri Hapsari, S.S., M.A. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNAIR ketika membahas mengenai perempuan dan politik di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa konstruksivitis atas identitas gender seorang politikus ternyata masih mempengaruhi citra diri mereka di arena pertarungan politik lintas gender.

Dia melanjutkan, pemilihan gubernur Jawa Timur tahun 2018 lalu pun tak terlepas dari polemik konstruksi identitas gender yang masih bersifat tradisional. Bahkan, kata dia, persoalan yang sama juga terjadi di Amerika Serikat. “Ternyata di sana, peran gender tradisional perempuan membuat perempuan enggan berpartisipasi dalam arena politik”, tuturnya.

Contohnya saja, Khofifah Indar Parawansa. Menurut Nurul, sebagai seorang politikus perempuan, tentu tidak mudah bertarung dalam sebuah arena pertarungan gurbernur Jawa Timur yang secara budaya dan historis selalu didominasi oleh pria.

Nurul mengatakan, kehadiran media sosial dianggap solutif untuk menunjukan eksistensi politikus perempuan. “Media sosial sekarang dianggap sebagai kendaraan politik yang sangat diperlukan dalam membangun citra identitas politikus,” ungkapnya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, Khofifah selalu mengkonstruksikan citra dirinya di media sosialnya sebagai pemimpin dengan karakter dan peran wanita ideal untuk masyarakat patriarki. “Khofifah bahkan cenderung merepresentasikan dirinya sebagai the second leader setelah wakilnya yang merupakan seorang laki-laki,” paparnya.

Selain itu, imbuh Nurul, saat ini meme juga menjadi salah satu bentuk partisipasi politik kaum milenial. “Bahkan tak jarang, dengan memadukan budaya pop dan politik, meme mampu mengarahkan pemilih ke sebuah konstruksi identitas politikus yang berbeda dari apa yang mereka citrakan di media sosial selama ini,” ujarnya.

Nurul menjelaskan, ternyata hal itu juga terjadi pada konstruksi identitas Khofifah sebagai seorang kandidat Gubernur Jawa Timur. Berdasarkan kajian yang Nurul lakukan, dalam meme yang ada, identitas keibuan Khofifah dikonstruksikan dengan sifat feminin yang ideal. Namun dengan sifat pemimpin yang kuat dan berani serta meniru sifat-sifat maskulin.

Faktanya, arena politik masih dianggap sebagai dominasi laki-laki. Sehingga untuk memenangkan arena politik, perempuan harus meminjam sifat-sifat maskulinitas. “Pemilih milenium di Indonesia tampaknya lebih mudah terkena dampak popularitas dalam mendefinisikan identitas para pemimpin politik daripada prestasi para pemimpin tersebut,” tutupnya. (*)

Penulis: Erika Eight Novanty

Editor: Khefti Al Mawalia

Referensi:

https://produccioncientificaluz.org/index.php/opcion/article/view/24116/24560

Nurul Fitri Hapsari et. al. 2019. Memes and millennial voters: Identities of an

indonesian female political leader. Apción, Año 35, Especial No. 19: 2066-2087

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).