Teror Pinjaman Online: Dibalik Nilai Ekonomis dan Minimnya Kerangka Hukum Perlindungan Data Pribadi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Rakyatku Tekno

“Mengedukasi diri sendiri tentang besarnya value data pribadi di jaman digital ini menjadi sebuah keniscyaan, sehingga kita sebagai konsumen paham akan dampak eksploitasi data pribadi yang dilakukan oleh pihak lain”

Merebaknya kasus teror penagihan pinjaman online (PINJOL) menjadi momok baru bagi masyarakat di era digital sekarang ini.Dari hari ke hari, banyak kasus tentang teror tagihan PINJOL.Hal ini menjadi penanda terkuaknya sisi gelap dari perkembangan Informasi dan Teknologi (IT) yang tidak kita sadari karena lebih cenderung untukmelihat sisi baik teknologiyang banyak memberikan kemudahan bagi kita. Sebenarnya, teror penagihan pinjaman ini bukanlah barang baru. Sebelum ekosistem bisnis dan ekonomi digital berkembang merambah konsumen di Indonesia, teror ini juga telah dirasakan oleh konsumen perbankan terkait dengan tagihan kartu kredit dan produk keuangan yang sejenis. Lantas apa yang perlu menjadi catatanefek negatif kasus dari perkembangan bisnis di sektor financial technology (fintech) ini? Setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi latar belakang kasus ini. Pertama, menjamurnya aplikasi PINJOL yang tidak berbasis pada kepatuhan hukum;  kedua, absennya aturan tentang perlindungan data pribadi;dan ketiga, minimnya pengetahuan tentang nilai ekonomis data pribadi oleh orang perseorangan.

Pertama, ekosistem bisnis digital telah berkembang dengan cepatnya. Berbagai inovasi teknologi fintech memberikan peluang sekaligus ancaman. Peluang yang ada adalah memberikan kemudahan yang mungkin bagi banyak orang dianggap sebagai salah satu bentuk alternative dalam mengakses jasa peminjaman keuangan yang tidak disediakan oleh industri perbankan konvensional. Banyak kontroversi terkait dengan hal ini, bahwa ada pandangan industrifintech akan ‘mengalahkan’ industry perbankan konvensional. Namun pandangan ini juga disanggah oleh indisti perbankan, bahwa sejatinya industri fintech adalah sebagai support system dari sistem yang konvensional. Lebih lanjut, perkembangan industri PINJOL ini ditangkap oleh oknum penyedia jasa PINJOL . Penyedia jasa ini  dengan sangat mudah menawarkan jasanya tanpa mengikuti aturan yang ada. Memang, dari otoritas sendiri telah mengeluarkan izin bagi para penyedia jasa PINJOL. Namun itupun tidak akan menghentikan praktek PINJOL yang dilakukan oleh oknum  yang tidak berbasis pada aturan yang ada.

Kedua, absennya aturan tentang perlindungan data pribadi dapat dikatakan menjadi ihwal karut marutnya penyelenggaraan bisnis digital khusunya PINJOL yang berbasis aplikasi. Data pribadi menjadi kunci penyelenggaraan bisnis ini. Bahwa dengan aturan yang komprehensif diharapkan menjadi pijakan bagi regulator untuk menerapkan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan aturan main bagi para penyelenggara bisnis fintech dalam hal ini penyelenggara PINJOL serta menjadi alat bagi pihak yang berwenang sebagai dasar untuk bertindak apabila terdapat pelanggaran.

Sampai saat ini, aturan tentang data pribadi merujuk pada Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Perkominfo ini belum secara jelas memuat dan menjamin hak konsumen sebagai pemilik data (ELSAM, 2019). Hak konsumen dalam hal ini adalah hak yang melekat pada konsumen pada saat dia mengkonsumsi sebuah produk atau memanfaatkan layanan tertentu. Setidaknya studi yang dilakukan mencatat terdapat 8 hak pemilik data yang harus dijamin dan tertuang dalam regulasi maupun regulasi perusahaan penyelenggara PINJOL dan fintechpada umumnya yaitu: (a) Hak atas Informasi atas data yang diproses; (b) Hak Mengakses Data yang telah dikumpulkan; (c) Hak Untuk Menolak Pemrosesan Data Pribadi; (d) Hak untuk Memperbaiki, Memblokir dan Menghapus Data yang telah diproses; (e) Hak untuk mendapatkan hasil profiling dan pengambilan keputusan otomatis yang sesuai; (f) Hak untuk memperoleh dan memindahkan data yang dikumpulkan perusahaan; (g) Hak untuk mendapatkan proses hukum yang efektif dan efisien; dan (h) hak atas kompensasi (ELSAM, 2019). Sampai saat ini, hak-hak dasar tersebut belum tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan jasa PINJOL dan fintech secara umum.

Ketiga, bahwa mengedukasi diri sendiri tentang besarnyavalue data pribadi di jaman digital ini menjadi sebuah keniscayaan, sehingga kita paham dampak eksploitasi data pribadi yang dilakukan oleh pihak lain. Konsumen harus cerdas dalam memahami cara kerja bisnis di era digital ini tidak akan lepas dari pemanfaatan data pribadi kita. Sebagai contoh, tidaklah cukup kita menikmati produk atau layanan digital yang semakin memudahkan kerja dan kehidupan kita sehari-harimisalnya memanfaatkan PINJOL karena menawarkan kemudahan dalam mengakses dana pinjaman tanpa dibarengi dengan pengetahuan tentang perkembangan Big Data, Blockchain danCloud Computing.Big Data merupakan teknologi cara kerjanya adalah mengandalkan data pribadi orang perseorangan yang diolah dengan algoritma tertentu yang akhirnya dapat dijadikan sebagai salah satu alat pengambil kebijakan pelaku usaha dalam melakukan ekspansi dan strategi bisnisnya. Pun demikian dengan Blockchain, tak jarang algoritma yang dihasilkan justru mengumbar data pribadi konsumen. Cloud Computing sebagai sarana penyimpanan data konsumen yang mengandalkan jaringan Internet sangatlah rentan terpapar serangan siber (cyber attack) yang membawa dampak rawannya kebocoran data tersebut. Saat ini, informasi terkait inipun juga sangat mudah untuk diakses. Sehingga edukasi diri ini juga menjadi kunci bagi konsumen bagaimana untuk menentukan perilakunya dalam memanfaatkan produk maupun layanan digital tertentu.

Berpijak dari ketiga hal tersebut, dapat dilakukan upaya-upaya bagi regulator untuk duduk bersama dengan pelaku bisnis PINJOL dan fintech pada umumnya untuk membuat aturan atau standar bersama tentang pengelolaan dan operasional bisnis dengan tetap mengakomodasi perkembangan bisnis digital dengan tetap memberikan perlindungan kepada konsumen. Sehingga diharapkan menghasilkan aturan yangberimbang dan memberikan jaminan kepastian bisnis digital dengan tetap memberikan penjaminan dan penghormatan hak-hak konsumen  selaku pemilik data pribadi. Memang, telah dikeluarkan berbagai macam beleid terkait dengan fintech, namun tetap diperlukan evaluasi menyeluruh dari berbagai pihak. Selain itu, perlu tetap dilakukan upaya-upaya untuk menyegerakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi. Peran masyarakat sipil dalam mengawal ini juga mutlak dibutuhkan. Bagaimana mungkin di era yang serba digital ini, pemerintah tidak mempunyai pijakan untuk menjamin penghormatan hak-hak digital warga negara disamping tetap melakukan upaya-upaya penyejahteraan melalui pengembangan eksosistem bisnis dan ekonomi digital.

Berita Terkait

Masitoh Indriani, S.H., LL.M

Masitoh Indriani, S.H., LL.M

Dosen Hukum Siber Fakultas Hukum Universitas Airlangga Peneliti pada Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga