Ilmuan UNAIR Sebut Upah Pekerja Wanita di Jepang Mengalami Kesenjangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Artikel Ilmiah oleh Feri Fenoria

UNAIR NEWS – “Kesenjangan upah gender di Jepang cukup tinggi yaitu peringkat ketiga tertinggi di antara negara-negara OECD.” Begitulah petikan dari Magdalena Triasih Dumauli, SE., M.Ec saat mengulas tentang kesenjangan upah pekerja perempuan di Jepang.

Dalam paparannya, ia mengulas sistem pasar kerja di Jepang terkenal unik dengan dua karakteristiknya. Yaitu kerja seumur hidup dengan pembayaran upah berdasarkan lama kerja. Perusahaan di Jepang setiap tahunnya, ungkapnya, merekrut lulusan baru untuk menjadi karyawan reguler, memberikan pelatihan kerja on- the job training kepada karyawan berdasarkan keterampilan khusus perusahaan (company-specific skills) dan mempekerjakan mereka sampai usia pensiun.

“Kontinuitas kerja dengan satu perusahaan ini sangat penting bagi keberlangsungan jenjang karier dan hasil pasar kerja (upah) yang menguntungkan karyawan regular di Jepang,” ucapnya.

Namun, beda halnya dengan pasar kerja khusus wanita Jepang yang ingin berkarir. Magdalena mengungkapkan bahwa sebagian besar pekerja wanita Jepang yang berhenti bekerja dengan alasan melahirkan dan membesarkan tidak bisa melanjutkan karirnya karena upah yang lebih rendah. Sehingga perempuan harus beralih dari pekerjaan regular menuju pekerjaan non regular.

“Mereka dianggap tidak bisa menyeimbangkan tugas rumah tangga, termasuk perawatan anak dengan pekerjaan di kantor. Sehingga mereka memilih untuk bekerja part time dengan tetap melaksanakaan tanggung jawab untuk mengasuh anak sembari melakukan pekerjaan rumah tangga,“ tuturnya.

Dari permasalahan tersebut, Magdalena melihat bahwa ada kesenjangan upah pekerja perempuan yang tidak setara. Wanita yang memiliki anak akan memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan wanita tanpa anak yang bekerja di pekerjaan regular. Hal itu disebabkan adanya perbedaan pilihan jenjang karir di antara dua kelompok. Wanita yang memiliki anak memilih berada pada jenjang karir seperti biasanya, yaitu jenjang karir yang diperuntukkan untuk pekerja ibu.

“Mereka mungkin awalnya bekerja dengan jenjang karir pada umumnya berdasarkan keterampilan khusus perusahaan, tetapi setelah memiliki anak mereka beralih ke jenjang karir umum. Kemudian, sebaliknya, wanita tanpa anak memilih tetap berada di jenjang karir berdasakan keterampilan khusus perusahaan yang sama dengan jenjang karir untuk pekerja laki-laki,” paparnya.

Dari fenomena tersebut, wanita Jepang mengalami situasi kerja yang tidak menguntungkan khususnya setelah memiliki anak. Menurutnya, mayoritas mereka harus berhenti bekerja sementara untuk melahirkan.

“Mereka akan mengalami kesulitan untuk bisa melanjutkan karir sebagai pekerja pada regular dalam jenjang karir berdasarkan keterampilan khusus perusahaan,” tutupnya.

Penulis: Khefti Al Mawalia

Editor: Nuri Hermawan

Referensi:

https://academicpublishingplatforms.com/article.php?journal=BEH&number=37&article=2672

Dumauli, Magdalena Triasih, 2019. “Motherhood wage penalty in Japan: What causes mothers to earn less in regular jobs?”, Business and Economic Horizons, Vol.15, Issue3, pp.375-392.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).