Harapan Corak Baru bagi Keadulatan Rakyat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Tugas Sekolah

Perjalanan demokrasi Indonesia untuk lima tahun ke depan sangat ditentukan oleh integritas dan tentunya kiprah para legisalator serta Presiden dan wakil presiden yang terpilih. 1 Oktober 2019 lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melantik dan menetapkan Anggota DPR dan DPD periode 2019-2024, sementara itu untuk pelantikan Presiden dan wakil Presiden terpilih sudah di laksanakan pada tanggal 20 Oktober 2019. Sudah seyogyanya mereka negarawan terpilih merawat daulat rakyat yang sudah diberi amanah oleh masyarakat khususnya untuk lima tahun ke depan.

Setiap kali terjadi pergantian sirkum politik lima tahun sekali, muncul pertanyaan-pertanyaan dibenak masyarakat, akankah mereka elite politik bekerja membawa Indonesia maju dan unggul ke depanya atau justru sebaliknya. Tentu mengambil janji suci di gedung senayan lalu menjadi tatanan baru dalam birokrasi Republik ini. Saya lebih suka menyebutnya tatanan baru dibandingkan dengan kata “lembaran”.

Tatanan maknanya unsur inti tidak berubah yang mengalami pergantian hanya para legislator dalam konteks ini. Tatanan baru ini pula akan menghiasi panggung Birokrasi. Negara Indonesia, dengan birokrasi yang dibawakan oleh elite poliitikus mampu menjembantani kehidupan bersama kemudian menjadi alat untuk menjaga konsistensi, keteraturan, keseragaman, dan kekompakan yang penting satu mereka mengetahui aturan mainya dan tidak berbuat curang.

Sepanjang masa kampanye pemilu 2019, banyak sekali janji-janji manis yang ditebarkan di berbagai spanduk, reklame, poster, iklan, dan ragam diskusi publik laiinya. Mereka yang mempropagandakan janjinya itu terpahat dalam rekam jejak digital dan dokumen yang suatu saat dapat ditagih oleh publik setiap saat. Nilai yang menjadi substansi  mereka terletak pada komitmen dan konsistensi agar antara ucapan yang di propaganda serta perbuatanya berbanding lurus dengan menghasilkan produk yang bermanfaat. Tengoklah sejarah, siapa yang di beri apresiasi dan penghormatan sebagai negarawan yang kembali menjadi warga biasa. Siapa pula yang menyuguhkan memori kebencian terkolektif oleh rakyat maka ia akan di ingat sebagai pemimpi yang penghianat.

Kita perlu juga mewaspadai kondisi demokrasi Indonesia yang belum sepenuhnya optimal. Perihal konteks pluralisme, kebebasan sipil dan budaya politik saat ini ibu pertiwi dilanda gejolak hebat di berbagai daerah seperti di Wamena Papua, demonstrasi besar-besaran dan kebakaran hutan, peristiwa-peristiwa tersebut itu bisa menjadi bahan evaluasi kita untuk terus berbenah  ditengah berbagai ragam masalah, bukan menjadi bahan yang membuat kita pesimistis tetapi menjadi lecutan bahwa kita tak bisa hanya jalan di tempat. Banyak agenda reformasi yang harus dituntaskan secara bersama-sama elite di Legislatif dan pemerintahan harus mengelola mandate kuasa rakyat jangan sampai muncul kekecewaan mendalam yang membuat rakyat tak lagi memiliki harapan kepada mereka yang memiliki hak untuk berperan.

Jangan karena menguasai suara mayoritas di DPR lantas dengan arogan menggunakan mayoritas suara meski hal ini bertentangan dengan kehendak rakyat yang melahirkan politik kartel sehingga timbul demokrasi kolusif, karena sangat mungkin di DPR melahirkan kondisi dimana tendensi mayoritas itu ada dan menguasai tak semata di legislatif tetapi juga di eksekutif biasanya terjadi pemanfaatan suara dominan untuk memutuskan seluruh agenda mereka dan menutup segala akses kompetitor. Jangan sampai kultur feodalis dari zaman sebelumnya terbawa terus menerus hingga proses berjalanya birokrasi di negeri ini. Bukan masa ini harus lebih baik dari pada masa yang lalu dan masa yang mendatang harus lebih baik dari pada hari ini. Harus ada progresif yang berkesinambungan dan berdampak pada kebaikan tidak hanya melulu soal kekuasaan saja. Kebijakan selanjutnya harus di pikirkan matang-matang sehingga langkah yang diambil tepat sasaran dan tidak menimbulkan kegaduhan.

Mungkin saja untuk solusinya dan harapan kedepanya di tatanan orde baru Legisalator dan pemerintah yang menjalankan funsginya ke depan sekiranya meningkatkan komunikasi dengan rakyat dan elemen-elemen terkait. Model komunikasi timbal balik yang dapa memangkas jarak komunikasi. Tiga pilar utama dalam dalam berkomunikasi efektif dengan rakyat ialah mengembangkan sikap hormat, komitmen diawal propaganda, dan menyelasikan masalah ditingkatkan, pemahaman berintegrasi satu dengan yang lainya. Ini bukan soal siapa yang yang menghadirkan suara mayoritas di DPR tetapi yang mampu menciptakan keselarasan dan kemaslahatan rakyat.

Berita Terkait

Akmal Aldino

Akmal Aldino

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga