Tindakan Tidak Aman Ancam Keselamatan Pekerja Shift Operator Harbour Mobile Crane

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Pekerja Shift Operator Harbour Mobile Crane. (Sumber: http://kmmigroup.com)

Transportasi laut merupakan peran penting dalam proses pembangunan ekonomi masa depan di Indonesia. Diperlukan fasilitas dan sistem transportasi yang baik untuk memenuhi aspek keamanan dan kecepatan sehingga mampu mendukung distribusi barang melalui laut. Salah satu alternatif untuk mencapai tujuan tersebut yaitu melalui penggunaan container. Kecepatan proses bongkar muat menggunakan container dipengaruhi oleh alat pendukung, yang dikenal sebagai Harbour Mobile Crane (HMC).

Departemen Kelautan Hong Kong melaporkan, salah satu risiko kecelakaan potensial tertinggi di pelabuhan peti kemas adalah aktivitas penanganan kargo. Pada tahun 2015 dari 98 kecelakaan yang terjadi di pelabuhan peti kemas terbesar dan tersibuk di Tangjung Priok, Indonesia, menurut Organisasi Administrasi Asuransi Sosial BPJS, terdapat 105.182 kasus kecelakaan kerja. 38% dari mereka adalah kasus kecelakaan kerja karena jatuh dari ketinggian dan terjadinya kecelakaan kerja karena crane.

Kecelakaan kerja dipengaruhi oleh dua penyebab langsung (tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman). Salah satu langkah pengendalian untuk mengatasi tingginya angka kecelakaan kerja adalah dengan menerapkan sistem shift kerja. Kecelakaan di tempat kerja dapat meningkat jika beban kerja berlebihan. Penerapan sistem shift kerja bertujuan untuk mengurangi beban kerja seseorang dan mencegah kerja lembur. Namun, pekerjaan secara bergiliran dapat memengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja. Hal ini disebabkan oleh Circadian Rhythm yang terkait dengan kecelakaan di tempat kerja.

Circadian Rhythms adalah perubahan fisik, mental dan perilaku yang mengikuti siklus harian. Tidur di malam hari dan terjaga di siang hari adalah contoh Circadian Rhythmsterkait cahaya. Pekerja yang bekerja pada shift malam hari memiliki risiko 28% lebih tinggi untuk cedera atau kecelakaan daripada shift lainnya.

McKinnon dalam Fadhilla menyebutkan, tindakan tidak aman merujuk pada seseorang yang menyimpang dari prosedur keselamatan sehingga dapat memicu kecelakaan kerja. Ini sesuai dengan pendapat Heinrich, yang menyatakan bahwa 88% kasus kecelakaan industri disebabkan oleh tindakan yang tidak aman.

Berdasarkan hasil pengamatan, setiap shift kerja menunjukkan bahwa pekerja melakukan tindakan yang tidak aman selama bekerja dengan tidak menggunakan APD. Ini tidak sesuai dengan ketentuan Permenakertrans No. PER. 08/MEN/VII/2010 tentang APD Pasal 6 yang menyatakan bahwa semua pekerja dan orang lain di area kerja diharuskan menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko.

Terdapat dua faktor yang berhubungan langsung dengan tindakan tidak aman yang terkait dengan penggunaan APD, yaitu faktor pribadi dan faktor pekerjaan. Faktor pribadi yang dimaksud adalah kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menggunakan APD. Jika tenaga kerja tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang potensi atau sumber bahaya di tempat kerja, maka individu akan cenderung membuat keputusan yang salah dalam hal penggunaan APD.

Faktor pekerjaan, yaitu kurangnya pengawasan. Jika pengawasan telah dilakukan dengan baik, maka ini dapat mendorong tenaga kerja untuk selalu menggunakan APD. Faktor pekerjaan lainnya adalah kenyamanan menggunakan APD. Dengan demikian, faktor kenyamanan menggunakan APD menjadi salah satu faktor yang menyebabkan operator HMC enggan menggunakan APD saat mengoperasikan HMC.

Tindakan tidak aman lainnya yang juga sering ditemukan di setiap shift kerja adalah penempatan container yang tidak tepat. Selain itu, kecepatan saat beroperasi yang tepat adalah masalah lain yang sering terjadi ketika memuat dan menurunkan container ke dan dari kapal yang dapat menyebabkan bahaya bagi operator dan pekerja yang berada disekitarnya.

Penurunan serta peningkatan tindakan tidak aman pada shift malam dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut teori International Loss Control Institute (ILCI), tindakan tidak aman disebabkan oleh faktor pribadi dan faktor pekerjaan. Faktor pribadi yang dapat mempengaruhi tindakan tidak aman di tempat kerja adalah kurangnya kemampuan fisik dan mental tenaga kerja.

Berkurangnya kemampuan fisik tenaga kerja dapat memengaruhi perbedaan dalam tindakan tidak aman antara shift kerja. Menurut Winasunu dalam Kirana, setiap manusia memiliki Circadian Rhythms. Klasifikasi Gangguan Tidur Internasional 2005 memperkirakan bahwa gangguan tidur kerja shift dapat ditemukan pada 2-5% pekerja. Gangguan ini ditandai dengan rasa kantuk yang berlebihan dan/atau gangguan tidur selama setidaknya satu bulan sehubungan dengan jadwal kerja yang tidak lazim.

Rasa kantuk biasanya terjadi saat shift malam dan meningkat pada akhir malam. Pekerja yang menderita gangguan tidur-bangun karena shift kerja dapat tertidur tanpa sadar di tempat kerja atau saat mengemudi kembali ke rumah setelah shift malam. Bekerja shift memiliki dampak sosial ekonomi yang penting karena mengarah pada peningkatan risiko kecelakaan, penurunan pekerja dan bahaya bagi keselamatan publik, terutama di malam hari. (*)

Penulis: Mulyono

Artikel lengkap dapat diakses melalui: https://medic.upm.edu.my/our_journal/malaysian_journal_of_medicine_and_health_sciences_mjmhs/mjmhs_vol15_supplement_3_august_2019-51211

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).