Pakar UNAIR: Jangan Sepelekan Obesitas Pada Balita

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Feri Fenoria R

UNAIR NEWS – Fokus masyarakat terhadap obesitas yang menyerang balita saat ini masih rendah. Masyarakat cenderung waspada terhadap penyakit gizi buruk ketimbang obesitas. Banyak anggapan bahwa balita gemuk itu pertanda si balita berkembang dan bertumbuh sehat. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Dosen FKp UNAIR melakukan penelitian bertajuk Contributing Factors of the Mother’s Behavior in Fulfilling Nutritional Needs for Under-Five Children with Overweight and Obesity yangmemberikan sedikit gambaran mengenai obesitas balita. Ia mengatakan permasalahan obesitas seyogyanya perlu diperhatikan serius sebab jika dibiarkan akan memiliki dampak negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 disebutkan prevalensi gizi lebih di Indonesia sebesar 11,9 persen. Selain itu, sebesar 10,6 persen balita di Jawa Timur mengalami kegemukan.

“Balita yang mengalami obesitas biasanya akan lebih pasif bergerak. Seringkali mengalami keterlambatan pada perkembangan motorik yang kemudian juga berdampak pada aspek perkembangan lain. Tidak dapat dipungkiri pula balita akan mengalami obesitas pada masa dewasa, penyakit metabolik ,dan degenerative,” tutur Praba Diyan.

Menurutnya, status obesitas pada balita erat kaitannya dengan pola makan yang diberikan keluarga. Karena pemberian makanan yang melebihi batas kalori harian balita. Keluarga tidak memerhatikan jenis dan kualitas makanan mana yang tepat untuk si balita. 

Baginya, penting sekali untuk melihat faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku keluarga dalam pemenuhan nutrisi pada balita. Tidak hanya itu, disebutkan pula faktor lain yang mengarah pada penggunaan perangkat elektronik seperti gadget dan televisi yang kurang melibatkan aktivitas fisik. 

Praba Diyan mendapatkan data responden ibu yang memiliki balita dengan status gizi lebih dan obesitas dari puskesmas dan bidan desa berdasarkan standar acuan penentuan status gizi dari WHO. Penelitian mengambil populasi para ibu yang memiliki balita dengan status gizi lebih dan obesitas rentang usia 26-30 tahun. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah dari keseluruhan jumlah Ibu tidak bekerja, sebagian besar berpendidikan terakhir SMA, dengan tingkat perekonomian keluarga berpenghasilan tinggi. Sedangkan karakteritik anak yang mengalami gizi lebih maupun obesitas pada penelitian ini sebagian besar berusia 3-5 tahun dan lebih dari setengahnya berjenis kelamin laki-laki.  

Manfaat maupun hambatan dirasakan oleh para ibu. Ibu pada dasarnya memiliki posisi kuat dalam memilih nutrisi yang akan diberikan pada balita. Dengan adanya pengetahuan secara langsung akan menjadi motivasi besar untuk memenuhi gizi anak dengan tepat. Dengan cara memilih kualitas makanan baik dari segi jenis maupun jumlah yang diberikan. 

“Hambatan dirasakan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan manfaat yang dirasakan ibu,” lanjutnya.

Ia mengatakan faktor pertama ialah lingkungan. Faktor tersebut menjadi hal yang sulit untuk dicegah, akibatnya ibu tidak bisa mengontrol makanan apa yang baik dikonsumsi oleh balita.

“Misalnya, ada iklan-iklan makanan yang menarik perhatian anak. Salah satu pemicu gizi lebih atau obesitas adalah kurangnya aktivitas fisik. Obesitas terjadi apabila asupan energi lebih besar daripada energi yang dikeluarkan,” pungkasnya. 


Penulis: Tunjung Senja Widuri
Editor: Nuri Hermawan

Berikut link terkait artikel di tas: http://www.indianjournals.com/ijor.aspx?target=ijor:ijphrd&volume=10&issue=8&article=525

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).