Menilik Akar Penyebab Kekerasan di Sekolah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Dunia pendidikan di Indonesia tak pernah sepi dari berbagai pemberitaan tentang kasus kekerasan di kalangan pelajar. Kasus-kasus  kekerasan itu melibatkan guru ketika menghukum muridnya, atau siswa senior yang ingin ‘mendisiplinkan’ juniornya, atau antarmurid saling melecehkan hingga terjadi baku hantam karena persoalan-persoalan yang nampaknya mungkin sepele. Konflik yang berujung pada kekerasan, baik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, maupun antarsiswa sendiri bisa terjadi karena relasi yang tidak seimbangan di antara pelaku kekerasan dengan korbannya. Penelitian ini berupaya mengidentifikasi berbagai bentuk kekerasan di sekolah, kemudian menggali akar penyebabnya.

Berbagai jenis kekerasan yang dialami murid di sekolah dapat dikategorikan menjadi: kekerasan fisik, kekerasan verbal atau psikis, dan kekerasan simbolis. Bentuk kekerasan lainnya didasarkan atas kadar kekerasan dan kondisi korban yang meliputi kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan represif, dan kekerasan alienatif (Salmi, 2005:32). Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang. Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak lain yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi dari kesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual (rights to emotional, cultural, or intellectual growth).

Cukup banyak argumentasi tentang penyebab terjadinya kekerasan di sekolah, terutama ketika guru melakukan kekerasan terhadap murid. Argumentasi itu dapat dikategorikan dari tiga sisi (Eko Indarwanto, 2004). Sisi pertama melihat kelemahan murid,  di mana sikap dan perilaku siswa dinilai terlampau ‘nakal’. Meski sudah dididik dengan cara halus tetap tidak ada perubahan sikap dan perilaku. Dengan menggunakan legitimasi yang dimilikinya, guru seringkali menggunakan kekerasan kepada siswa, karena guru beranggapan bahwa murid tidak berusaha memenuhi harapan guru. Pada sisi kedua, terjadinya kekerasan pada murid dilihat sebagai akibat dari kelemahan guru. Penyebab kekerasan terhadap murid bisa terjadi karena guru tidak paham akan makna kekerasan itu sendiri dan akibat negatifnya. Masih cukup banyak guru yang beranggapan, bahwa dengan memberikan hukuman kepada murid, maka murid akan jera dan tidak mengulang lagi kesalahan yang diperbuatnya.

Namun, dari sisi murid, dampak kekerasan akan sangat berbeda, bahkan murid bisa sangat membenci gurunya, dan semakin tidak hormat kepada gurunya. Sisi ketiga melihat terjadinya kekerasan murid karena kelemahan sistem dan metode pembelajaran, termasuk kelemahan lembaga pendidikan yang menghasilkan guru serta lembaga yang berwenang menetapkan isi dan kurikulum pendidikan.  Argumentasi yang dikemukakan adalah pertama, lembaga pencetak guru cenderung statis dan tidak bergerak mengikuti perkembangan pengetahuan. Kedua, pergantian kurikulum yang cepat cenderung membebani guru dan murid, termasuk sistem Ujian Nasional yang seringkali mengalami modifikasi, sehinga muncul berbagai tindakan curang karena tekanan Ujian Nasional, Ketiga, dengan beban belajar yang cukup padat yang tercantum di dalam kurikulum sekolah, guru pun  memiliki beban dengan memindahkan banyak pengetahuan kepada siswa. Keempat, tidak adanya pengawasan dari dinas pendidikan terhadap pelaku pendidikan, khususnya perilaku kekerasan guru di ruang kelas. Sedangkan orangtua murid tidak berani bersuara dan tidak berdialog dengan anak untuk memantau perkembangan anak di sekolah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan jenis kekerasan yang pernah dialami siswa, membuat skala atau indeks kekerasan berdasarkan persepsi siswa, menguji hubungan antara kekerasan yang dialami siswa dengan iklim akademik serta pola interaksinya. Studi ini bertipe deskriptif-eksplanatif dengan menggunakan metode survei. Lokasi penelitian ada di empat kota di Jawa Timur, Indonesia, yaitu: Surabaya, Malang, Pasuruan dan Bangkalan (Kepulauan Madura). Populasi penelitian ini  adalah para siswa yang berada di jenjang pendidikan sekolah menengah (SMU dan SMK). Pengambilan sampel menggunakan multistage random sampling. Sampel diambil sebanyak 50 siswa untuk tiap sekolah sedangkan jumlah sekolah menengah yang dijadikan sebagai sampel penelitian ini sebanyak delapan dengan total sampel siswa sebesar 400 orang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar siswa pernah mengalami kekerasan, baik di sekitar sekolah maupun  di luar sekolah,  dan kekerasan yang lebih banyak dialami siswa terjadi di lingkungan sekolah. Pelaku dan korban kekerasan pada umumnya adalah sesama siswa di sekolah. Namun  di setiap jenjang pendidikan yang dilalui siswa,  pelaku kekerasan berbeda-beda. Di jenjang SD dan SMA pelaku kekerasan terbanyak adalah sesama siswa, sedangkan di jenjang SMP, pelaku kekerasan terbanyak adalah guru di sekolah. Jenis kekerasan yang pernah dialami siswa di sekolah adalah kekerasan verbal, kekerasan fisik, kekerasan tidak langsung, dan kekeraskan represif. Adapun indeks persepsi kekerasan berdasarkan tiga urutan skor tertinggi menurut para siswa adalah kekerasan fisik, kekerasan tak langsung dan kekerasan verbal.

Iklim akademik yang kondusif di sekolah dapat menurunkan angka terjadinya kekerasan yang dialami siswa, karena siswa dapat menikmati kegiatan belajar-mengajar yang nyaman dan menyenangkan di sekolah. Bentuk-bentuk iklim akademik tersebut meliputi ragamnya kegiatan yang menunjang kebutuhan belajar siswa, kegiatan intra/ekstra kurikuler di sekolah, ketersediaan sarana-prasarana yang memadai di sekolah, perhatian yang adil/seimbang dari para guru terhadap sisiwanya. Variabel-variabel yang menjadi pencetus  dari berbagai bentuk kekerasan yang dialami siswa di sekolah antara lain adalah pola interaksi antara guru dan siswa serta antara siswa senior dan junior yang tidak akrab dan iklim akademik yang tidak mendukung suasanan belajar yang nyaman dan menyenangkan di sekolah. 

Penulis : Tuti Budirahayu

Informasi detail tentang tulisan ini dapat dilihat di

https://www.atlantis-press.com/proceedings/icocspa-17/55909019

Tuti Budirahayu, Novri Susan. 2018. Violence at School and Its Root Causes. Proceedings of the International Conference on Contemporary Social and Political Affairs (IcoCSPA 2017).

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).