Dosen UNAIR Temukan Sistem Detektor Kantuk Menggunakan Kecerdasan Buatan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Feri Fenoria R

UNAIR NEWS – Mengantuk merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan di jalan. Data kecelakaan lalu lintas menunjukkan bahwa 83% kejadian disebabkan oleh kelelahan; mengantuk; dan melebihi ambang batas kecepatan.

Oleh karena itu, Osmalia Nur Rahma S.T., M.Si. bersama Akif Rahmatillah S.T., M.T., dosen Fakultas Sains dan Teknologi UNAIRmenelitidetektor kantuk dengan metode kecerdasan buatan, yakni Extreme Learning Machine (ELM).Selain hanya ELM, diperlukan wavelet sebagai metode pengolahan yang mengubah sinyal dalam bentuk waktu menjadi bentuk frekunsi.

“Ditambah dengan adanya jaringan syaraf tiruan metode Extreme Learning Machine, perangkat ini dapat membedakan kondisi mengantuk dan terjaga secara otomatis.Sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi kondisi mengantuk saat berkendara,” ungkap Osmalia.

Sebelumnya memang telah banyak alarm systemuntuk mencegah kantuk yang dikembangkan.Kebanyakan memanfaatkan kamera untuk memonitor gerakan mata atau sensor yang diletakkan di ban untuk mencegah selip saat pengemudi mengantuk. Namunsistem yang adabelum maksimalterhadapintensitas cahaya atau cuaca.

Berdasarkan hasil penelitian, gelombang otak yang direkam oleh Electroencephalograph(EEG) berbasis Brain Computer Interface(BCI) menjadi alternatif untuk mengatasi hal tersebut.“BCI ini tidak seperti alat EEG yang ada di rumah sakit dengan banyak kabel yang terhubung.Melainkan berbentuk seperti headset tanpa kabel dan terkoneksi dengan bluetooth sehingga mudah digunakan,” ujarnya.

BCI menggunakan prinsip EEG dan sudah banyak dikembangkan secara komersil dengan harga yang terjangkau baik untuk aplikasi games maupun bidang medis. BCI ternyata juga dapat dimanfaatkan untuk merekam aktivitas listrik otak saat kondisi mengantuk dan kondisi terjaga.

Saat mengantuk, lanjutnya, gelombang alpha dan gelombang theta di otak meningkat intensitasnya dibanding pada saat kondisi terjaga. Gelombang alpha merupakan gelombang otak dengan frekuensi 8-12 Hz, sedangkan gelombang theta memiliki frekuensi 4-8 Hz. “Keduanya ini muncul pada orang normal saat kondisi rileks maupun santai dan cenderung mengantuk,” kata dia.

Dia melanjutkan, terdapat perbedaan frekuensi ketika kondisi mengantuk dan terjaga. Saat mengantuk, gelombang alfa dan theta meningkat. Namun perbedaan tersebut kurang signifikan secara statistik sehingga menurunkan akurasi pengujian ELM. “Oleh karena itu, perlu ditambahkan metode Common Spatial Pattern yang dapat meningkatkan perbedaan nilai beragam dari dua kelompok tersebut,” ujarnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ELM yang didukung oleh Common Spatial Pattern dapat digunakan untuk membedakan EEG pada kondisi mengantuk dan terjaga. “Agar dapat bekerja secara maksimal, perangkat ini perlu dikolaborasikan dengan metode Common Spatial Pattern,” ungkapnya.

Osmalia berharap, sistem itu dapat bermanfaat dalam mengembangkan alarm system secara otomatis. Terutama dengan basis sinyal gelombang otak untuk mendeteksi pengendara motor yang mengantuk, sehingga dapat mengurangi risiko kecelakaan yang terjadi. (*)

Penulis: Erika Eight Novanty

Editor : Nuri Hermawan

Reference : Osmalina Nur Rahma, Akif Rahmatillah. Drowsiness Analysis Using Common Spatial Pattern and Extreme Learning Machine Based on electroencephalogram Signal. Journal of Medical Signals and Sensors, ISSN : 2228-7477

Link : http://jmss.mui.ac.ir/index.php/jmss/article/view/489

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).