Penyakit Kronis di Indonesia Perlu Perhatian Lebih

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi penyakit kronis. (Sumber: Republika)

Beban penyakit kronis di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Indonesia dapat berada di ambang epidemi apabila tidak ada kebijakan dan kontrol khusus untuk penyakit tidak menular (PTM).  Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 prevalensi PTM saat ini naik dari tahun survei tahun 2013, yaitu stroke pada usia >15 (naik 56%), diabetes mellitus (naik 23%), hipertensi pada usia >18 (32%), dan obesitas (47%).

Sementara itu, prevalensi merokok pada kalangan remaja meningkat sebesar 26%. Selama dekade terakhir ini, pemerintah berfokus pada tujuh bidang strategis yang meliputi peraturan, pengawasan, deteksi dini faktor risiko, informasi, pendidikan dan komunikasi, peningkatan manajemen kasus, peningkatan partisipasi masyarakat dan replikasi program PTM. Namun, sebagian besar dari program yang sudah ada belum menyeluruh, dan pelaksanaannya seringkali masih bersifat sektoral.

Prevalensi merokok pada pria dewasa di Indonesia, misalnya, meskipun merupakan peringkat dua tertinggi di dunia, Pemerintah Indonesia tetap saja masih belum menandatangani dan mengesahkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang berguna untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi rokok dan paparan asap rokok.  Peraturan pemerintah pusat lebih terfokus pada kebijakan ruang publik bebas rokok, sedangkan untuk iklan rokok dan pembatasan tempat penjualan lebih mengandalkan inisiatif dari pemerintah daerah.   

Pemerintah Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah sukses menurunkan konsumsi tembakau melalui pengendalian iklan dan perdagangan tembakau yang lebih ketat, seperti di Thailand dan Uruguay.  Mengingat maraknya media sosial dan penggunaan internet, pelarangan iklan tembakau di media sosial juga perlu diperketat di Indonesia.

Selain itu, kebijakan mengenai minuman dan makanan sehat juga perlu dibuat dan mulai diberlakukan. Kebijakan ini dapat berupa promosi dan subsidi makanan sehat, penerapan pajak makanan tidak sehat, kewajiban pencantuman komposisi makanan, pelabelan dan pembatasan iklan makanan tidak sehat di televisi, di luar ruangan maupun di media sosial.

Diperlukan juga sistem kesehatan yang menyeluruh dari perawatan primer hingga tersier dalam mencegah dan pengendalian PTM. Sistem yang dijalankan di Indonesia saat ini belum maksimal dalam mendiagnosis populasi dengan PTM. Maka dari itu Indonesia perlu melembagakan skrining dini untuk faktor resiko PTM seperti obesitas, hipertensi dan kolesterol tinggi, seperti di Malaysia dan Thailand. Penelitian terkait PTM di Indonesia juga harus ditingkatkan.

Penelitian lanjut mengenai faktor sosial penentu PTM, integrasi pengawasan PTM rutin ke dalam sistem informasi kesehatan nasional, efektivitas biaya intervensi makanan, langkah-langkah pengendalian tembakau dan peningkatan respon sistem kesehatan terhadap PTM sangat diperlukan.  Meskipun PTM menyumbang 67% dari kematian di negara berkembang, hanya 1% dari pendanaan kesehatan global yang diberikan untuk mengatasi PTM, oleh karena itu prioritas pendanaan penelitian PTM sangat diperlukan. 

Hal tersebut di atas merupakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia.  Oleh karena itu pemerintah nasional maupun daerah perlu duduk bersama untuk segera merancang program dan membuat kebijakan komprehensif untuk mecegah dan menanggulangi beban dari PTM ini. (*)

Penulis: Susy K. Sebayang

Informasi lebih lengkap tentang riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:https://academic.oup.com/inthealth/advance-article/doi/10.1093/inthealth/ihz025/5531085

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).