Pangkas Penyebaran Virus Rabies dengan Vaksin Epitope Isolat Lokal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Feri Fenoria Rifa'i

UNAIR NEWS – Rabies atau yang juga disebut dengan istilah penyakit anjing gila merupakan infeksi virus pada otak dan sistem saraf. Rabies merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus bernama rhadovirus. Penyakit rabies bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia) dan tergolong sangat berbahaya  karena berpotensi besar menyebabkan kematian. Penularan rabies terjadi akibat partikel virus yang berada dalam air liur hewan terinfeksi berhasil masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan lain melalui gigitan.

Umumnya, virus rabies ditemukan pada hewan liar. Beberapa hewan liar yang menyebarkan virus tersebut adalah sigung, rakun, kelelawar, dan rubah. Namun, di beberapa negara, masih banyak binatang peliharaan yang rupanya membawa virus tersebut, termasuk kucing dan anjing.

Hingga Maret 2019 Kementerian Kesehatan mencatat laporan dari 22 provinsi atas 6.760 kasus gigitan hewan pembawa rabies. Dari 22 provinsi, Bali melaporkan kejadian terbanyak, 2.549 kasus. Setelah itu Nusa Tenggara Barat (NTB) 920 kasus, Sulawesi Selatan 570 kasus, Sulawesi Utara 469 kasus, Sumatra Utara 425 kasus, Sumatra Barat 348 kasus, dan Kalimantan Barat 341 kasus.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian terus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran rabies. Beberapa langkah tersebut diantaranya memberikan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat tentang bahayanya rabies, pembuatan peraturan pemerintah, pembuatan flow chart mengenai tindakan yang harus dilakukan pada penanganan Gigitan Hewan Pembawa Rabies (GHPR), dan vaksinasi massal (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Meski demikian, upaya tersebut rupanya belum cukup efektif untuk menuntaskan permasalahan rabies di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan sejak ditemukannya kasus rabies di NTB pada awal tahun 2019. Kejadian itu menyebabkan bertambahnya jumlah provinsi yang terjangkit rabies dari 24 provinsi menjadi 25 provinsi (kompasiana, 2019).

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Dr. Jola Rahmahani, M.Kes., drh. menyebutkan bahwa salah satu hal yang diduga menjadi penyebab penyakit ini adalah seed vaksin yang digunakan untuk vaksinasi massal tidak mampu menginduksi antibodi yang dapat menetralisir infeksi virus rabies dengan sempurna. Oleh sebab itu, dirinya melakukan penelitian guna mengetahui efektifitas isolat lokal sebagai seed vaksin untuk mencegah penyebaran rabies di Indonesia.

Epitope merupakan bagian dari antigen yang masih mampu menginduksi sintesis antibodi untuk melawan penyakit. Vaksin berbasis epitope sudah sering digunakan untuk vaksinasi karena memiliki banyak keuntungan, yakni harganya yang terjangkau, bersifat imunogenik dan mampu mengurangi efek setelah vaksinasi (Ahmed dkk., 2017).

“Analisis epitope yang merangsang kerja sel limfosit T dan B bisa digunakan untuk menyeleksi isolate yang bisa dijadikan kandidat seed vaksin melawan rabies. Oleh karena itu analisis epitope sel limfosit T dan B penting dalam penentuan isolate lokal yang akan digunakan sebagai seed vaksin melawan rabies di Indonesia,” paparnya.

Dalam penelitiannya, Jola menggunakan otak dari anjing yang sudah terinfeksi rabies sebagai sampel. Sebanyak 9 sampel dikoleksi dari Sulawesi (Balai Besar Veteriner Maros-Sulawesi), Bali (Balai Besar Veteriner Denpasar), dan Sumatera (Balai Penelitian dan Penyidikan Veteriner Regional II Bukittinggi-Sumatera). Sampel yang dikoleksi dari setiap pulau adalah 3 sampel. Masing-masing sampel diproses menjadi suspense dengan konsentrasi 10% kemudian diproses untuk ekstraksi RNA. RNA yang telah diekstraksi diproses untuk sintesis DNA melalui Reverse-Transcriptase.

“Hasil dari amplifikasi menunjukkan bahwa sampel yang diisolasi merupakan virus rabies. Hal ini ditunjukkan dengan terdapatnya band dari kesembilan sampel sejajar dengan marker 1000 bp,” sebutnya.

Hasil amplifikasi tersebut, lanjutnya, dipurifikasi dan diproses ke tahap sequencing untuk mendapatkan full sequence dari region yang diamplifikasi. Berdasarkan prediksi epitope, dua sampel yang diisolasi dari Sumatera (RABV_533 dan RABV_438) memiliki jumlah epitope yang lebih banyak dari sampel lain.

“Epitope merupakan bagian dari antigen yang masih bisa menginduksi kekebalan, sehingga penggunaan epitope dari isolate lokal sebagai vaksin subunit bisa menjadi salah satu cara menanggulangi penyebaran rabies di Indonesia,” papar Jola.

Hingga kini penelitian lebih lanjut terkait kerja dari kedua kandidat vaksin dalam menginduksi kekebalan melawan infeksi rabies masih terus dikembangkan untuk memangkas penyebaran virus rabies di Indonesia secara efektif. (*)

Penulis: Zanna Afia

Editor: Khefti Al Mawalia

Referensi:

Rahmahani, Jola, et al. 2019. Prediction According to Glycoprotein Encoding Gene of Rabies Virus Local Isolates as Vaccine Candidate against Circulating Rabies Virus in Indonesia. The Indian Veterinary Journal. Vol 96-(09). p. 14–16.

http://ivj.org.in/users/members/viewarticles.aspx?ArticleView=1&ArticleID=9027

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).