Menilik Masalah Psikososial Pada Korban Human Trafficking

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Feri Fenoria Rifa'i

UNAIR NEWS – Jumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Jawa timur sendiri merupakan salah satu kantung besar kasus perdagangan manusia, di mana pengiriman, penerimaan dan transit terjadi disana.

Sebagai salah satu daerah pengirim buruh migran terbesar di Indonesia, khususnya buruh migran perempuan, banyak ditemukan bentuk perdagangan manusia. Kelompok masyarakat yang rentan akan kasus tersebut, adalah masyarakat kelompok prasejahtera yang mengalami disintegrasi keluarga, relasi yang buruk dalam keluarga, dan keluarga yang penuh dengan kekerasan di dalamnya.

Seperti diketahui, perdagangan manusia merupakan problem sosial yang memiliki konsekuensi negatif, tidak hanya untuk korban atau orang-orang yang selamat dari perdagangan, namun juga bagi keluarga dan lingkungan terdekat mereka serta bagi masyarakat sekitarnya.

“Dampak tersebut bisa sangat dahsyat, karena pelaku menggunakan kekerasan fisik untuk mendominasi dan mengontrol korban-korban mereka,” ujar Ike Herdiana, Dosen Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga.

“Bahkan, mereka (pelaku) biasanya tak segan menggunakan beberapa cara untuk mengendalikan korbannya, seperti kurungan, pelecehan, pemerkosaan, dan berbagai ancaman,” tambahnya.

Untuk meneliti permasalahan itu, Ike Herdiana bersama Sukma Rahastri Kanthi dan Suryanto, meresponnya dengan membuat jurnal penelitian, berjudul Girl Trade: Portrayal of the Psychosocial Problems of Human Trafficking Survivor, yang diterbitkan di North American Journal of Psychology.

Penelitian itu, bertujuan untuk menggambarkan potret kasus dan kondisi psikologis penyintas perdagangan manusia. Bersama tim, Ike berfokus pada dampak psikososial yang dihayati penyintas atas pengalaman tersebut.

Hasilnya, penyintas menerima dampak fisik, psikologis, dan sosial. Pengalaman yang menjadi catatan penting, berupa penganiayaan yang menimbulkan luka fisik, perasaan-perasaan negatif, dan tindakan-tindakan sosial yang tidak terkendali seperti menarik diri dari orang lain.

“Hasilnya itu dari partisipan kedua yang mempunyai kesamaan, yakni mengalami penculikan, diikuti dengan pemindahan dari Indonesia ke Malaysia untuk dipaksa menjadi pekerja seks, yang turut melibatkan tetangga,” ungkapnya.

Untuk menangani keadaan yang sulit seperti itu, kata Ike, biasanya dukungan yang diterima korban lebih banyak datang dari yayasan yang menjadi rumah aman bagi korban. Korban mendapatkan perlindungan, pemulihan fisik dan psikis dan akses kesehatan yang cukup memadai.

Selain itu, bagi korban yang tetap tinggal bersama keluarga, dukungan lebih banyak diterima dari keluarga besar dan anggota keluarga yang tidak terlibat dalam kasus tersebut. Sekecil apapun bantuan yang diterima oleh korban, ternyata membuat korban merasa mendapatkan perlindungan dan memberikan rasa aman.

“Namun perlu diingat juga, para peserta masih tidak bisa melupakan bagaimana pengalaman buruk mereka ketika diperdagangkan,” Pungkas Ike.

Penulis : Fariz Ilham Rosyidi

Editor    : Khefti Al Mawalia

Link        : https://www.questia.com/library/journal/1G1-576378112/girls-trade-portrayal-of-the-psychosocial-problems

Ike Herdiana, Sukma Rahastri Kanthi, dan Suryanto, 2019. Girl Trade: Portrayal of the Psychosocial Problems of Human Trafficking Survivor, North American Journal of Psychology Vol.21 No. 1.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).