Panggung Dramaturgi Humanistik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh djarumfoundation.org

Novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar lubis yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1992 oleh Pustaka Obor, sedikitnya bercerita tentang perjalanan dan pergulatan batin tiap-tiap tokoh. Melalui narasi panjang yang fluktuatif, Wak Katok digambarkan sebagai tokoh yang memiliki supremasi kekuasaan atas kehidupan beberapa orang, Sedangkan Pak haji yang hanya peduli pada dirinya sendiri merupakan rumusan karakter yang berseberangan dengan Wak Katok. Pada akhirnya, kedua tokoh ini mengisi peran sentral dalam perumusan utama alur cerita, utamanya intrik-intrik kebebasan dan kekuasaan.

Melalui mereka juga, novel tersebut menapaki titik-titik konflik diametral antar tokoh yang dipicu dengan pemaksaan kehendak untuk berbicara tentang kebenaran pribadi masing-masing tokoh setelah dideru-deru oleh keputusasaan. Melihat sekilas bagaimana konflik tersebut bekerja, standar yang diusung oleh Mochtar Lubis tidak jauh berbeda dengan konsep Parrhesia yang diajukan oleh Michael Foucalt.

Dalam ciri-ciri kedua konsep Parrhesia yang diajukan oleh Foucalt,disebutkan bahwa selalu terdapat koinsidensi yang presisi (exact coincindence) antara kepercayaandan kebenaran (Pearson, 2018). Begitu pula yang terjadi dalam konflik tersebut bagaimana tokoh-tokoh dihadapkan dalam realitas bahwa kepercayaan dan kebenaran harus diungkapkan dalam ruang maupun koridor yang egaliter. Akibatnya, terjadilah konflik diametral sebab pranata sosial masih asing dengan konsep tersebut.

Ruang Mimesis

Dalam teori mimesis Plato, Sastra merupakan proyeksi realitas semesta. Maka, Novel Harimau ! Harimau! adalah bagian dari realitas masyarakat sipil (civil society)kita selain sifat sastra yang juga abadi (eternity). Hal ini juga dilandaskan pada pernyataan Freud yang menyebutkan bahwa alam bawah sadar (unconscious mind) berpengaruh besar terhadap alam pikiran manusia sebagai titik tolak proyeksi novel tersebut. Pada realitanya, identitas masyarakat sipil terbentuk untuk selalu berbenturan dengan kekuasaan penguasa.

Di novel tersebut, benturan masyarakat sipil dengan kekuasaan, secara metaforis digambarkan melalui pertengkaran Wak Katok – selaku orang yang memiliki kekuasaan sebab senjata yang dimilikinya – dengan Sanip dan Buyung sepeninggal Pak Haji yang wafat akibat lukanya. Realita dalam kehidupan berdemokrasi di negara yang mengusung masyarakat sipil sebagai penguasa ini, sipil selalu dihadapkan kepada mereka pemangku-pemangku kekuasaan yang dilegitimasi dengan ‘persenjataan’, baik persenjataan sosial maupun kebudayaan.

Maka, untuk memenangkan masyarakat sipil sebagai pemangku kekuasaan dalam kehidupan berdemokrasi, diperlukan sebuah panggung dramaturgi yang mengedepankan aspek-aspek transendensi dan kemanusiaan. Hal tersebut perlu dilakukan lantaran panggung dramaturgi tidak sekedar bekerja menyampaikan kebenaran dan kepercayaan dalam ruang maupun koridor egaliter belaka, melainkan aspek-aspek transendensi dan kemanusiaan merupakan jembatan penghubung dalam mencegah konflik-konflik diametral yang terjadi di masyarakat sekililing kita.

Untuk itu, mutlak adanya landasan filosofis dalam mengusung panggung dramaturgi baru tersebut. yakni, aktualisasi diri dalam panggung dramaturgi. Pertama, aktualisasi yang bergerak dalam aspek transendensi. kedua, aktualisasi dalam aspek kemanusiaan. Untuk mengurai landasan filosofis pertama, penulis akan Mengutip salah satu syair Rumi,

Sungguh mudah mengaku cinta,

Tetapi cinta membutuhkan bukti nyata

Dari syair tersebut, sepintas terlihat penekanan jarak antara pengakuan dan pembuktian. Biasanya, jarak tersebut tercipta akibat penegasian baris satu dengan baris yang lain, tetapi dalam kasus syair tersebut, Tetapi menjadi rima yang tepat dalam menghubungkan dua pokok ide besarnya. Begitu pula, aspek transendensi panggung dramaturgi. Sekilas, panggung dramturgi merupakan panggung humanisme yang mengusung nilai-nilai pokok kemanusiaan belaka. tetapi, melalui peran dan fungsinya sebagai panggung sipil, panggung dramaturgi menjadi panggung yang juga tidak lepas dari nilai-nilai ilahiah-nya. Maka, perubahan peran dan fungsi dramaturgi jika dikontekstualisasikan dengan syair Rumi tadi, perannya tidak kurang adalah sebagai Tetapi.

Selanjutnya, aktualisasi diri dalam aspek kemanusiaan, istilah ini sebenarnya telah digunakan oleh Abraham maslow yang menyebutkan bahwa aktualisasi diri adalah “kemerdekaan psikologis” seseorang, namun konsep tersebut bukanlah landasan aktualisasi aspek kemanusiaan dalam panggung dramaturgi. sebab proses aktualisasi diri milik Abraham maslow cenderung narsistik sehingga disebutkan bahwa orang yang telah mengaktualisasikan dirinya mampu dengan cermat mengambil keputusan-keputusan yang tepat.

Jika hal tersebut dikaitkan dengan aktualisasi diri dalam aspek kemanusiaan panggung dramaturgi, yang terjadi adalah ketimpangan teori dan implementasiny sebab kecendrungan-kecendrungan narsistik tidak mudah untuk diterima dalam pranata sosial . Maka, untuk merumuskan hal tersebut, saya akan mengambil contoh melalui cuplikan kalimat dalam novel Harimau ! Harimau !,

Manusia dimana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau dalam dirinya.

Kalimat tersebut menganalogikan tabiat manusia yang disamakan dengan hewan, hal tersebut dinilai sangat wajar sebab sisi buas manusia yang kadang muncul sering terstimulus dengan keadaan-keadaan tidak pernah terduga kedatangannya. Oleh karena itu, dalam memaknai supremasi sipil dalam kehidupan berdemokrasi di negara indononesia pengejawantaha aspek transendensi manusia dan kemanusiaan mutlak diperlukan dalam memenangkan supremasi sipil.

Lalu, agar panggung dramaturgi tersebut bekerja dalam koridor yang inheren, saya sepakat dengan uraian pengarang di penghujung cerita, “untuk membina kemanusiaan perlulah mencinta, orang sendiri tidak dapat hidup sebagaimana manusia…”.

Berita Terkait

Muhammad Fuad

Muhammad Fuad

Penulis adalah mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, angkatan 2017. Penggiat literasi, tinggal di: muhammad.fuad.izzatulfikri-2017@fib.unair.ac.id