Mengapa Stunting Menjadi Masalah untuk Negara?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi kegiatan posyandu di Indonesia. (Sumber: beritasatu)

UNAIR NEWS – Istilah Indonesia darurat stunting kerap terdengar beberapa tahun terakhir. Menurut data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2017, Indonesia menjadi negara ketiga dengan angka kejadian stunting tertinggi di Asia Tenggara.

Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR Trias Mahmudiono S.KM., MPH (Nutr.), GCAS, Ph.D, stunting menjadi masalah yang cukup besar bagi Indonesia untuk segera ditangani. Mengingat, saat ini Indonesia sedang mengalami bonus demografi dimana mayoritas masyarakat Indonesia berada pada usia produktif.

Apabila masalah stunting dibiarkan, maka, generasi ke depan dapat kalah saing dalam bidang prestasi atau pekerjaan. Kondisi tersebut tentu akan berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia.

“Salah satu intervensi yang cukup efektif dilakukan adalah dengan menyiapkan generasi berikutnya agar tidak stunting lagi,” jelas dosen yang akrab disapa Trias tersebut.

Stunting sendiri merupakan kondisi kurang gizi kronis dalam waktu yang cukup lama. Kejadian stunting akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan pada anak. Yaitu, kondisi tinggi anak yang pendek dibandingkan anak normal.

Trias melanjutkan, konsep Undang Undang Dasar (UUD) tahun 1945 pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara tepat untuk mengatasi masalah stunting. Hal tersebut karena salah satu faktor yang menyebabkan stunting adalah kondisi perekonomian keluarga yang kurang baik.

Sebagai contoh, apabila ibu sudah miskin dan tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi, maka negara harus bisa memenuhi kebutuhan gizinya. Sebab, dampaknya tidak hanya pada ibu tersebut tapi juga pada anak dan generasi selanjutnya.

“Namun sistem tersebut belum terlaksana. Di Surabaya sendiri program bantuan memenuhi kebutuhan makanan masih berfokus pada anak terlantar dan lansia miskin saja. Padahal, ibu dan remaja miskin juga perlu diberi intervensi untuk mencegah mereka melahirkan anak stunting,” lanjutnya.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR Trias Mahmudiono menanggapi perihal stunting di Indonesia. (Dok. Pribadi)

Kementerian Kesehatan dalam hal ini juga memiliki program untuk memenuhi asupan gizi pada remaja. Yaitu, program suplemen tambah darah, zat besi, dan asam folat.

Menurut Trias, jika penerimaan program tersebut kurang baik, dapat diganti dengan cara lain yang lebih bisa diterima. Seperti dengan pemberian ikan atau telur setiap hari kepada remaja putri yang miskin.

“Alternatif solusi mungkin pemerintah bisa memberi remaja putri yang miskin, sebuah kartu yang dapat ditukarkan dengan ikan, hati ayam, atau telur setiap harinya di swalayan atau toko mitra pemerintah. Sehingga kebutuhan gizi remaja tersebut dapat terpenuhi,” pungkasnya. (*)

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).