Mau Jalur Timur: Risiko Lambatkan Publikasi Ilmiah Internasional

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Surya Tribunnews

Tak sampai sebulan, ada setidaknya tiga aturan kontroversial yang terjadi di Indonesia. Setelah RKUHP dan RUU KPK, sekarang muncul lagi aturan yang ketiga dari Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia- yang cukup membuat kontroversial pengelola jurnal, penulis, dan pembaca artikel publikasi ilmiah. Setidaknya, ada 8 jenis karya ilmiah yang diwanti-wanti untuk menyertakan naskah Bahasa Indonesia pada setiap publikasinya. Lengkapnya, Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019  Pasal 31 Ayat 4 berupaya agar “Dalam hal diperlukan untuk tujuan khusus atau bidang kajian khusus yang mendukung peningkatan kemampuan berbahasa pada lembaga dan/atau satuan pendidikan, penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing dengan menyertakan publikasi dalam Bahasa Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan, baik bahasanya maupun aksaranya.”

Layaknya sebuah layang-layang, sebelum diluncurkan ke atas awan, perlulah memeriksa tali dan kerangkanya. Apakah pembuatnya memberikan lampu hias di kerangkanya? Apakah talinya diperpanjang oleh si pembuat? Hal serupa tentunya dapat dilakukan pada Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 Pasal 31. Penetapan peraturan presiden tersebut terkesan paradoksal dengan apa yang selama ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia perintahkan.

Para pengelola jurnal pasti masih berjuang untuk menobatkan jurnal yang dikelolanya ke dalam deretan jurnal berindeks Scopus. Bahkan, aturan ini berdampak pada target kinerja dosen yang seolah terukur jika berhasil menerbitkan di jurnal berindeks Scopus. Sekitar 200 jurnal di Indonesia ditarget untuk mendaftar Scopus, dengan dalih mengangkat reputasi jurnal ke dunia Internasional. Untuk meraih posisi sebagai jurnal Scopus, setidaknya artikel yang diterbitkan harus mengandung judul dan abstrak Bahasa Inggris. Tetapi, bukankah ada jurnal Scopus yang menggunakan bahasa lokal? Sejauh ini tingkat audiensi artikel masih tergantung pada Bahasa Inggris sebagai bahasa universial dalam mengkomunikasikan sains.

Apakah Bahasa Indonesia cukup? Nyatanya tidak. Research Trends meneliti penyebaran penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa sains pada 6 negara, termasuk Cina dan Brazil. Hasil penelitiannya menunjukkan penggunaan bahasa Inggris terus meningkat dilihat dari artikel yang diterbitkan antara tahun1996–2011. Penggunaan bahasa Inggris masih mendominasi pada berbagai publikasi ilmiah di dunia utamanya yang diterbitkan oleh jurnal berindeks Scopus. Manakala hal ini tidak diterapkan oleh Kemenristek, mungkin saja tidak akan ada kewajiban untuk menguasai bahkan mempublikasikan artikel dalam Bahasa Inggris.

Dilihat dari kaca mata bahasa, penulis nampaknya akan mengalami kesulitan pembendaharaan kata-kata. Nation menyatakan bahwa pembendaharaan kata pada berbagai bidang keilmuan berbeda-beda dan berhubungan dengan sejauh mana keilmuan terkandung pada sebuah teks. Misalnya saja, pada studi yang sama, Research Trends membandingkan 9 bahasa seperti Bahasa Inggris, Cina dan Belanda. Penyebaran penggunaan Bahasa Inggris dalam artikelilmu biologi, ilmu fisik, kesehatan, dan humaniora masih merata. Salah satu alasannya adalah ilmu-ilmu bilogi, fisik, dan kesehatan membutuhkan kosakata spesifik dan teknis. Dengan adanya ini, tidak ada alasan untuk mengeklusi sebagaian atau keseluruhan Bahasa Inggris dari publikasi ilmiah.

Berkaitan dengan kalimat akhir pada ayat 4 di atas, menyertakan Bahasa Indonesia pada naskah publikasi Bahasa Inggris malah menghambat kecepatan diseminasi penemuan penelitian. Hal ini disebabkan karena proses penyuntingan naskah pada jurnal akan memakan waktu lebih lama. Sumber Daya yang harus dikerahkan akan bertambah.Pertanyaannya, siapa lagi yang akan terlibat dalam proses pengelolaan jurnal ini? Saya rasa setiap akademisi tahu jawabannya.

Daripada sibuk memengaruhi pengelola jurnal dengan aturan tersebut, ada baiknya jika pemerintah segera meluncurkan peraturan tentang pengarsipan mandiri. Hal ini akan menjadi win-win solution antara penulis dan pengelola jurnal. Dengan memberlakukan sistem pengarsipan mandiri, penulis bebas membagikan tulisannya pada platform pengarsipan mandiri dalam bahasa yang dikehendaki. Ini berguna untuk mencegah ketidakefektifan waktu dalam pengelolaan jurnal.

Kesimpulannya, baik pengelola jurnal, penulis, dan pembaca boleh mempertimbangkan kebijakan seperti apa yang akan dipilih untuk meningkatkan penyebarluasan artikel yang diterbitkan. Apakah lewat jalur barat atau timur? Rasanya, untuk saat ini, saya pribadi memberikan keleluasaan menggunakan jalur barat untuk penyebaran publikasi karya ilmiah tanpa ada embel-embel disertai dengan jalur timur.

Tak sampai sebulan, ada setidaknya tiga aturan kontroversial yang terjadi di Indonesia. Setelah RKUHP dan RUU KPK, sekarang muncul lagi aturan yang ketiga dari Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia- yang cukup membuat kontroversial pengelola jurnal, penulis, dan pembaca artikel publikasi ilmiah. Setidaknya, ada 8 jenis karya ilmiah yang diwanti-wanti untuk menyertakan naskah Bahasa Indonesia pada setiap publikasinya. Lengkapnya, Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019  Pasal 31 Ayat 4 berupaya agar “Dalam hal diperlukan untuk tujuan khusus atau bidang kajian khusus yang mendukung peningkatan kemampuan berbahasa pada lembaga dan/atau satuan pendidikan, penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing dengan menyertakan publikasi dalam Bahasa Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan, baik bahasanya maupun aksaranya.”

Layaknya sebuah layang-layang, sebelum diluncurkan ke atas awan, perlulah memeriksa tali dan kerangkanya. Apakah pembuatnya memberikan lampu hias di kerangkanya? Apakah talinya diperpanjang oleh si pembuat? Hal serupa tentunya dapat dilakukan pada Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 Pasal 31. Penetapan peraturan presiden tersebut terkesan paradoksal dengan apa yang selama ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia perintahkan.

Para pengelola jurnal pasti masih berjuang untuk menobatkan jurnal yang dikelolanya ke dalam deretan jurnal berindeks Scopus. Bahkan, aturan ini berdampak pada target kinerja dosen yang seolah terukur jika berhasil menerbitkan di jurnal berindeks Scopus. Sekitar 200 jurnal di Indonesia ditarget untuk mendaftar Scopus, dengan dalih mengangkat reputasi jurnal ke dunia Internasional. Untuk meraih posisi sebagai jurnal Scopus, setidaknya artikel yang diterbitkan harus mengandung judul dan abstrak Bahasa Inggris. Tetapi, bukankah ada jurnal Scopus yang menggunakan bahasa lokal? Sejauh ini tingkat audiensi artikel masih tergantung pada Bahasa Inggris sebagai bahasa universial dalam mengkomunikasikan sains.

Apakah Bahasa Indonesia cukup? Nyatanya tidak. Research Trends meneliti penyebaran penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa sains pada 6 negara, termasuk Cina dan Brazil. Hasil penelitiannya menunjukkan penggunaan bahasa Inggris terus meningkat dilihat dari artikel yang diterbitkan antara tahun1996–2011. Penggunaan bahasa Inggris masih mendominasi pada berbagai publikasi ilmiah di dunia utamanya yang diterbitkan oleh jurnal berindeks Scopus. Manakala hal ini tidak diterapkan oleh Kemenristek, mungkin saja tidak akan ada kewajiban untuk menguasai bahkan mempublikasikan artikel dalam Bahasa Inggris.

Dilihat dari kaca mata bahasa, penulis nampaknya akan mengalami kesulitan pembendaharaan kata-kata. Nation menyatakan bahwa pembendaharaan kata pada berbagai bidang keilmuan berbeda-beda dan berhubungan dengan sejauh mana keilmuan terkandung pada sebuah teks. Misalnya saja, pada studi yang sama, Research Trends membandingkan 9 bahasa seperti Bahasa Inggris, Cina dan Belanda. Penyebaran penggunaan Bahasa Inggris dalam artikelilmu biologi, ilmu fisik, kesehatan, dan humaniora masih merata. Salah satu alasannya adalah ilmu-ilmu bilogi, fisik, dan kesehatan membutuhkan kosakata spesifik dan teknis. Dengan adanya ini, tidak ada alasan untuk mengeklusi sebagaian atau keseluruhan Bahasa Inggris dari publikasi ilmiah.

Berkaitan dengan kalimat akhir pada ayat 4 di atas, menyertakan Bahasa Indonesia pada naskah publikasi Bahasa Inggris malah menghambat kecepatan diseminasi penemuan penelitian. Hal ini disebabkan karena proses penyuntingan naskah pada jurnal akan memakan waktu lebih lama. Sumber Daya yang harus dikerahkan akan bertambah.Pertanyaannya, siapa lagi yang akan terlibat dalam proses pengelolaan jurnal ini? Saya rasa setiap akademisi tahu jawabannya.

Daripada sibuk memengaruhi pengelola jurnal dengan aturan tersebut, ada baiknya jika pemerintah segera meluncurkan peraturan tentang pengarsipan mandiri. Hal ini akan menjadi win-win solution antara penulis dan pengelola jurnal. Dengan memberlakukan sistem pengarsipan mandiri, penulis bebas membagikan tulisannya pada platform pengarsipan mandiri dalam bahasa yang dikehendaki. Ini berguna untuk mencegah ketidakefektifan waktu dalam pengelolaan jurnal.

Kesimpulannya, baik pengelola jurnal, penulis, dan pembaca boleh mempertimbangkan kebijakan seperti apa yang akan dipilih untuk meningkatkan penyebarluasan artikel yang diterbitkan. Apakah lewat jalur barat atau timur? Rasanya, untuk saat ini, saya pribadi memberikan keleluasaan menggunakan jalur barat untuk penyebaran publikasi karya ilmiah tanpa ada embel-embel disertai dengan jalur timur.

Berita Terkait

Imamatul Khair

Imamatul Khair

Penulis adalah Alumni Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Universitas Airlangga 2017 Editorial Assistant of Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia