Perjuangan Hariyanto, Berjuang untuk Terus Mengeyam Pendidikan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Hariyanto Mahasiswa Bidikmisi UNAIR Banyuwangi. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Memiliki status pendidikan yang tinggi merupakan impian banyak orang. Namun, dalam mewujudkannya membutuhkan perjalanan yang panjang. Permasalahan ekonomi masih menjadi faktor utama penghambat proses pendidikan.

Kisah perjuangan itu datang dari seorang pemuda asal lampung yang kini duduk dibangku kuliah S1 Kesehatan Masyarakat PSDKU UNAIR Banyuwangi. Dia adalah Hariyanto, anak ke 3 dari 8 bersaudara. Pendapatan orang tua yang bekerja sebagai petani karet tak mampu mencukupi kebutuhan sekolah. Hal tersebut memaksa Hari untuk tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus SMP (2011).

Fenomena putus sekolah merupakan hal yang biasa terjadi di kampungnya. Selama menganggur, ia bekerja sebagai petani karet. Pemuda yang akrab di sapa Hari tersebut terkenal sebagai pekerja yang ramah. Tak jarang ia sering bercengkrama dengan para pekerja lainnya.

“Saya sering mendengar keluh kesah para petani karet. Tak dipungkiri, mereka semua mendambakan status pendidikan yang tinggi. Benar kata orang, pendidikan adalah kunci utama penggerak roda kehidupan,” tuturnya.

Merasa miris akan kondisi tersebut, hari tergerak untuk memperjuangkan nasib pendidikan warga dikampungnya. Tahun 2014, ia memutuskan merantau ke Banyuwangi demi mengejar impiannya. Walau tak ada jaminan ia akan sukses diperantauan, Hari tetap bertekad dan berusaha meyakinkan kedua orang tua untuk merestui niatnya tersebut.

“Rata-rata warga dikampungku lulusan SD. Kalau aku masih tinggal di Lampung, aku nggak akan bisa sekolah. Mungkin nasib ku akan sama seperti mereka, menjadi petani karet hingga tua. Alasan aku memilih Banyuwangi karna berdekatan dengan pulau Bali. Nasib orang kan tiada yang tau, kalaupun nanti aku gagal, aku akan mencari pekerjaan di Bali,” ujarnya.

Berbekal uang 450 ribu, hari mengaku uang tersebut hanya cukup untuk biaya transportasi saja. Kendati demikian, ia tak kehabisan akal untuk dapat bertahan hidup diperantauan.

“Karena di Banyuwangi aku nggak punya saudara, aku memilih tidur di masjid. Kalau di tanya kenapa, ya biar gratis aja. Pekerjaan pertamaku jadi tukang bersih-bersih masjid. Dibayar 200 ribu harus cukup untuk kebutuhan selama  sebulan. Perihal makan, terkadang aku numpang di rumah penjaga masjid lainnya,” imbuh Hari.

Mimpinya perlahan terwujud, ia diterima di salah satu SMK di Banyuwangi tahun 2014. Kemudian tahun 2017 ia lulus dan di terima di Unair Banyuwangi jalur SNMPTN pun tercatat sebagai mahasiswa Bidikmisi. Pekerjaan sambilan lainnya kerap ia lakukan semasa kuliah ini. Tak ada sedikitpun rasa malu menjadi penjaga toko, tukang las, penjual buah, ayam, lele, hingga menjadi tukang service pompa air/listrik pun ia syukuri dan ia jalani dengan ikhlas.

“Untuk teman-teman yang mungkin memiliki kondisi seperti saya, jangan mudah menyerah, akan ada banyak jalan selama kita mau berusaha,” pungkasnya. (*)

Penulis: Cynthia Retno Wulandari

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).